Minggu, 17 Februari 2019

LOST IN MANCHESTER (KELUARGA BACKPACKERAN BAGIAN KELIMA)


5. LOST IN MANCHESTER

Old Trafford Stadium in Manchester (dok. pribadi)

Kamis, 29 Juni 2017 pagi-pagi sekali saat orang –orang masih terlelap di balik selimut, kami sudah selesai mandi, Sholat Subuh bahkan merapikan tempat tidur serta mengemas koper dan barang bawaan lainnya. Aku dan Daeng seperti biasa sudah menyelesaikan semuanya lebih dulu. Sementara mbak Erna masih mengepak koper yang akan kami titipkan di Hostel selama kami berada di Machester. Rasa penasaran untuk melihat-lihat sekitar lingkungan Bayswater membuat kami segera turun. Sambil menunggu waktu sarapan, kami berdua sengaja keluar hostel terlebih dahulu menuju Bayswater road. Novi segra menyususl karena ia juga ingin ikut menyambangi kawasan Bayswater.

Disebelah selatan Bayswater Road terdapat dua buah  taman yang luas yaitu Kensington Garden di sebelah barat dan Hyde Park  disebelah timurnya. Taman yang terdekat dari hostel kami adalah Kensington Garden. Untuk mencapai Kensington Garden,  dari hostel kami cukup berjalan kaki saja. Dari depan hostel di jalan Inverness Terrace kami mengambil arah ke kiri yaitu menuju selatan hinggga Bayswater Road.  Setelah tiba di Bayswater Road kami menyebrang jalan dan langsung menemukan  pintu kecil menuju taman. Tidak terlalu banyak orang yang kami temui disana mungkin karena hari masih pagi. Hanya  beberapa orang yang sedang bersepeda, ada pula yang berjalan sambil menuntun anjing peliharaan mereka.  

Dari pintu masuk tadi kami mneyusuri jalan setapak yang membentang lurus dan panjang. Berbagai jenis pepohonan berjejer rapi sepanjang jalan setapak yang kami lalui. Beberapa ekor tupai malu-malu menyembulkan kepalanya dibalik pepohonan, lalu cepat bersembunyi lagi saat berpapasan dengan kami, sungguh menggemaskan. Ingin rasanya mengejar dan menangkap mereka. Burung-burung tidak kalah menariknya, memamerkan kepakan sayap dan cuitan merdunya saat kami melewati mereka di sekitar pepohonan yang hijau dan  rindang. Kutarik nafas dalam - dalam. Udara segar terasa menyusup kedalam kalbu membuat dada terasa lega dan nyaman. Setelah beberapa ratus meter menyusuri jalan setapak tadi, kami menjumpai persimpangan jalan. Kami mengambil jalan yang mengarah ke kanan  yaitu ke sebelah barat. Taman ini benar-benar terawat, tidak ada sampah yang tercecer bahkan tempat sampah untuk kotoran binatangpun disediakan secara khusus terpisah dengan sampah umum.

Sebuah kolam menyerupai danau kecil berbentuk lingkaran tampak didepan kami. Kolam ini dikenal dengan nama The Round Pond sesuai bentuknya bundar.  Nampak burung - burung sedang mematuk-matuk biji-bijian pinggiran kolam. Celotehan mereka terdengar nyaring seolah –olah sedang saling menyapa diantara mereka. Angsa-angsa putih dan bebek-bebek liar berenag-renang di dsisi kolam. Sebuah bangku kayu tersedia di depan kolam memberikan tempat duduk kepada pengunjung yang ingin meninkmati keindahan The Round Pond dan sekitarnya. Di sekililing kolam terdapat trek berpasir untuk jogging. Kulihat ada dua orang pria sedang berlari kecil mengitarinya. Seorang wanita setengah baya tengah meregangkan otot-otot tangan dan kakinya di samping bangku kayu depan kolam.  
Tergoda juga kami untuk singgah dan duduk sejenak di bangku taman itu sambil menikmati pemandangan The Round Pond dengan bebek, angsa dan burung-burungnya. Brurung-burung berkejaran seolah bercanda sambil berebut biji-bijian yanag mereka temukan. Pemandangan yang lucu dan menyenangkan. Penasaran mencoba berjalan mengelilingi danau mengikuti trek yang ada membuat kami sedikit berkeringat. Aku dan Daeng duduk kembali di bangku taman, sementara Novi asyik mengambil gambar dan video aktifitas burung, bebek dan angsa disana. 

Kensington Garden (Dok. Pribadi)
Setelah puas menikmati kolam dan pemandangan sekitarnya, kami menyusuri jalan setapak kembali arah kanan atau menuju ke arah barat. Beberapa meter kemudian kami tiba di jalanan beraspal. Di seberang jalan tanpak sebuah bangunan serupa istana yang dikelilingi pagar yang tidak terlalu tinggi dengan taman yang indah. Bagian depan halamannya terdapat kolam dengan patung Ratu Victoria bercat putih ditengahnya.  Ternyata itu adalah Kensington Palace. Istana ini merupakan kediaman kerajaan di Kensington Garden di borough Kerajaan Kensington dan Chelsea, London, Inggris. Bangunan itu telah berfungsi sebagai kediaman bagi keluarga kerajaan Britania Raya sejak abad ke-17 dan kini menjadi kediaman resmi bagi Pangeran William dan istrinya (Duke dan Dutches of Cambridge)  serta anak-anaknya, Pangeran Harry, Pangeran Richard dan lain-lain. (Sumber: Wikipedia).

Kensington Palace(Dok. Pribadi)

Sejenak kami menikmati keindahan Istana, untuk selanjutnya kembali ke hostel. Dengan mengikuti jalan beraspal yang dikenal dengan Broad Walk yang menuju ke arah utara, kami tiba di tempat arena bermain anak-anak semacam pasar malam atau sirkus. Namun, karena hari masih terhitung pagi, semua arena permainan masih tutup. Tidak jauh dari tempat bermain tadi, tampak berjejer sepeda sewaan. Kami mengamati beberapa sepeda yang terkunci. Jika hendak menggunakannya kita tinggal memasukan koin untuk membuka kuncinya.  Setela puas mengamati sepeda, kami akhirnya meninggalkan taman melalui pintu yang tidak jauh dari tempat sepeda tadi. Pintu itu mengarah ke Bayswater Road sebelah timur. Jadi untuk kembali ke hostel kami harus mengambil arah ke kiri atau ke arah barat.
Setibanya di hostel, kami segera menuju ruang makan di lantai dasar setelah menemui mbak Erna terlebih dahulu tentunya. Selepas sarapan kami menurunkan koper-koper dan barang bawaan ke lobi. Kami segera menuju receptionist untuk melakukan check out dan menitipkan koper-koper kami. Beruntung koper- koper yang ditiipkan tidak dikenakan biaya tambahan. Kami boleh menitipkannya dihostel selama beberapa hari seacara gratis. Setelah memastikan semua koper tersimpan di gudang penitipan barang, kami langsung berangkat berangkat ke stasiun Bayswater untuk mengambil moda kereta bawah tanah (tube) menuju ke Stasiun Victoria.

Bayswater Underground Station (Dok. Pribadi)

Dari Bayswater kami menggunakan jalur Circle Lines menuju Victoria Station. Dengan waktu kurang tempuh lebih 12 menit dan melewati 5 stasiun pemberhentian, kami tiba di Victoria Station. Dari bawah tanah kami menaiki anak tangga menuju jalanan kota. Dari depan Victoria Station, kami berjalan kaki ke arah kiri, tepatnya ke arah selatan menyususri Bukingham Palace Road hingga perempatan jalan lalu mengambil arah ke Elizabeth Street. Maka tibalah kami di depan Victoria Coach Station (Stasiun Bus Victoria).

Mba Erna segera mengeluarkan Megabus booking ticket untuk melakukan check in. Setelah melakukan check in di counter Megabus dan memdapatakan boarding pass, kami langsung menuju ruang tunggu penumpang. Megabus adalah salah satu perusahaan bus yang mendominasi angkutan antar kota bahkan antar negara yang mempunyai base camp di Victoria Coach Station selain perusahaan bus National Express.  Selama kurang lebih 30 menit kami menunggu bus yang kami pesan. Terdengar suara dari mikrofon yang mengumumkan waktu boarding untuk Megabus jurusan Manchester. Kami segera menuju pintu keberangkatan dan menaiki bus sambil memperlihatkan tiket dan buku passport masing-masing kepada kondektur bus. Sekitar pukul 09.30 waktu London, bus yang kami tumapangi meluncur meninggalkan stasiun Victoria menuju Manchester.

Sekitar 4 jam lebih 15 menit waktu yang kami tempuh dari London ke Manchester. Akhirnya kami tiba di Shudehill Interchange Stand G di Manchester. Gedungnya tidak terlalu besar, diadalamnya bisa kita temui counter perusahan bus, café, toilet umum dan ruang tunggu dengan kursi-kursi panjang dari stenless. Menurut mba Erna untuk mencapai Old trifold kita harus naik trem di halte Exchange Square. Sebetulnya di Shudenhill Interchange tadi aku sempat melihat denah gedung dan jalan-jalan sekitarnya. Tapi karena tidak begitu jelas akhirnya ya bingung juga. Yang jelas arah yang harus kami ambil adalah ke sebelah barat. Setelah berunding dan berfoto sejenak dalam gedung Shudehill kamipun beranjak keluar mencarai jalan menuju Exchange Square.

Shudehill Interchange Stand G, Manchester. (Dok. Pribadi)

Seorang pria setengah baya berkulit gelap tapi berpenampilan rapi melintas dekat kami. Tanpa pikir panjang lagi langsung aku menyapanya.
                Excuse me, Sir. Would you mind telling me the way to Exchange Square?
                Hmmm. OK. Follow me!” jawabnya singkat setelah sejenak mengernyitkan dahi. Namapaknya si Mister enggan menunjukkan jalan dengan menerangkan jalurnya kepada kami. Mungkin dia tahu kalau kami rada telmi alias telat mikir. Jadi Ia lebih suka menyuruh kami mengikuti saja. Praktis tak perlu kata-kata. Kamipun setengah berlari mengikuti si Mister yang berjalan dengan cepat menyebrang jalan didepan stasiun lalu belok kiri dan menyusuri jalanan sepi dengan batu-batu bundar seperti bola dengan ukuran besar seperti yang aku jumpai di alun-alun ujungberung karya Ridwan Kamil, menghiasi trotoar jalanan. Lalu kami diajak untuk menyebrang jalan lagi dan masuk ke gedung The Printworks dimana dalam gedung itu terdapat beberapa café dan restorant seperti washabi Sushi, Peachy keens, Waggamma Manchester Printworks, dan Hard Rock Café. Ada juga Bisokop Vue Cinema Manchester and Printworks IMAX. Setelah melewati café-café tersebut tibalah kami di pintu keluar gedung.
                “Over There”, kata si Mister sambil menunjuk ke sebrang jalan. Disana nampak halte trem dengan beberapa trem sedang menaikan dan menurunkan penumpang.
                “Ok. Thank You so much, sir” balasku sambil sedikit membungkuk tanda hormat.
                “You’re welcome. Have a nice trip.”
                “Thank you.”
National Football museum, Manchester
(Dok. Pribadi)
Secepat kilat si Mister yang baik hati itupun menghilang entah kemana arahnya. Cepat sekali dia berjalan. Beruntung kami masih bisa mengikutinya tadi. Kami masih berdiri depan gedung Printwork. Mengamati situasi sekelilingnya. Aku menatap ke arah kanan sebrang jalan ada National Football Museum. Jadi kenapa tidak kita ambil kesempatan untuk mengunjunginya sejenak? Maka segeralah kami menuju ke tempat itu. Tidak butuh waktu lama untuk menuju kesana. Kami hanya menyebrang jalan saja. Tulisan NATIONAL FOOTBALL MUSEUM terpampang jelas di atas gedung dibagian paling atas, dibawahnya beruturt-turut, DRAMA, HISTORY, SKILL, ARTFAITH, STYLE, PASSION DAN FOOTBALL. Dibagian bawah terdaat keterangan Free Entry, Daily Open, Open Monday-Saturday 10 a.m -5 p.m. dan Sunday 11 a.m. – 4 p.m. lalu THIS WAY denga arah panah menunjuk ke pintu masuk.  Sepanjang jalan menuju pintu masuk ada walk of fame dari para pemain sepak bola yang terkenal dunia. Aku menemukan Christiano Ronaldo (Portugal), mba Erna mendapatkan Zinedine Zidane dan Thierry henry (France), Daeng memilih Pele (Brazil).


Tiba di pintu masuk, kami masih sedikit ragu, apakah ini betul-betul free entry? Bismillah, kamipun masuk ke bagian dalam gedung. Di meja resepsionis ada beberapa petugas yang siap melayani para pengunjung. Karena penasaran kami bertatanya kepada petugas di keja resepsionisi, apakah kami harus bayar tiket atau tidak.
                “Should we pay the ticket, miss?” tanyaku ragu.
National Football Museum,
Manchester (Dok. Pribadi)
                “No. it’s free. Please enjoy the gallery” jawabnya dengan senyum manis.
Begitu masuk ke bagian yang lebih dalam kami disuguhi layar besar yang menyajikan cuplikan film kegiatan sepak bola zaman dahulu. Filmnya masih hitam-putih. Di bagian berikutnya terpajang foto-foto para pemain sepakbola dunia dengan jersey mereka masing-masing dalam bingkai yang berbeda. Tidak ketinggalan sepatu-sepatu mereka pun ada dalam bingkai khusus yang dipanjang pula di dinding ruangan. Setelah puas mengelilingi isi museum, kami meninggalkan museum  menuju Exchange Square.

Di exchange Square, kami mulai agak bingung, sedikit sih. Bagaimana cara mendapatkan tiket untuk naik trem menuju Old Trafford. Disini kami tidak menggunakan kartu Oyster, karena kartu itu hanya berlaku untuk alat transportasi di sekitar London saja. Setelah mengamati sekelilingnya, akhirnya kami tahu dimana harus memdapatkan tiket. Mesin yang ada di halte itu menyediakan tiket yang kita butuhkan. Moda transportasi kali ini adalah Manchester Metrolink. Mula-mula agak bingung juga cara mengoperasikan mesin ini. Maklum di kampungku tidak ada mesin tiket seperti ini. Aku hendak bertanya kepada seorang wanita setengah baya yang baru turun dari trem, menurut pepatah malu bertanya sesat di jalan. Tapi tenyata dia terburu-buru untuk naik trem berikutnya. Penasaran, aku dan mba Erna mencoba membaca petunjuk yang ada di mesin satu persatu. Ternyata kita tinggal memilih jenis tiket yang akan kita beli, apakah harian, one day trip, tiket mingguan atau langganan bulanan. Kami memilih one day trip untuk 4 orang. Setelah uang kita masukkan, maka tiketpun keluar dengan sendirinya, disusul uang kembaliannya. Bingo!

Selang beberapa menit datanglah trem jalur 5 yaitu jurusan East Didsbury -  Rochdale Town Cwntre. Setelah melewati tiga stasiun pemberhentian maka tibalah kami di keempat yaitu Trafford Bar. Tempat pemberhentian ini tampak sepi sekali, hanya beberapa orang yang turun di tempat ini. Keluar dari stasiun pemberhentian, kami mulai mencarai jalan menuju Old Trafford Manchester United stadium. Kami tidak bisa membuka aplikasi Google Map karena tidak ada sinyal internet. Maka kamipun mencoba bertanya lagi kepada orang yang ada disekitar situ. Di sekitar stasiun suasananya sepi, hanya ada satu dua orang yang tampak. Tapi jika sedang musim pertandingan pasti penuh oleh para supporter sepak bola. Kebetulan dari arah berlawanan ada dua orang gadis remaja yang tengah berjalan di trotoar. Tentu saja kesempatan ini tidak kami sia-siakan.
“Excuse me. Would you like to show me the way to Manchester Stadium?”
Let me see. Hmmm go straight, then take the left turn. Go straight again until you find the cricket stadium then take the right turn. That the way to the stadium.” Kata mereka sambil menunujuk kearah jalan di depan kami. Aku manggut-manggut saja walau tidak terlalu yakin.
“Ok, thank you very much” jawabku sambil tersenyum.
“You’re welcome.”

Kamipun berjalan terus ke arah jalan yang ditunjukkan oleh kedua gadis tadi, belok kiri sedikit lalu luruuuuuuuus saja. Setelah sampai di stadion kriket  kami harus belok ke kanan, begitu kata mereka tadi. Rasanya sudah jauh berjalan tapi tidak tanda-tanda adanya stadion kriket. Jalanan yang kami lewati sedikit basah sisa-sisa air hujan. Dedaunan di pohonpun terlihat sebagian masih basah. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan tampak sepi penghuni. Ada rasa ngeri juga dalam hati, membayangkan jika berjalan sendirian di tempat ini. Jalanan pun hanya sesekali dilewati kendaraan. Saat kami tiba di pertigaan jalan, karena penasaran dan rasa tidak sabaran, kami bertanya lagi kepada seorang anak laki- laki yang tampak mengenakan seragam sekolah, mungkin ia anak Sekolah menengah.
“Excuse me, do you know the way to Manchester stadium?
“Just go straight.” Katanya sambiul menunjuk ke sebrang jalan. Berarti kami harus menyebrang dan ambil arah kanan di pertigaan itu. Sebetulnya kami sedikit ragu atas jawabannya.
“Ok. Thank you.” kamipun mengikiti petunjuknya. Jalanan yang kami telusuri terasa sedikit menanjak. Sepertinya jalan yang kami lewati semakin mengarah ke kiri atau barah barat.  Setelah berjalan beberapa ratus meter, kami melihat atap sebuah stadion dan kami yakin itu adalah stadion MU yang kami cari. Tapi kami masih ragu dan bingung jalan mana yangnharus kami lalui untuk mencapainya.  Selang beberapa waktu, aku melihat ada plang bertuliskan Manchester stadium dengan tanda panah mengarah ke sebarang jalan. Lalu kami ikuti jalan itu hingga tiba di jalan raya yang lebar tapi lengang, mirip jalan bypass di jalan soekarno Hatta Bandung saat baru dibangun dulu. Di sebrang jalan sebelah kiri kami melihat ada 2 restoran cepat saji yaitu KFC dan Restoran Fish and Chips Harry Ramsdens.
Makan siang di KFC, Manchester (Dok.Pribadi)
Dalam suasana kebingungan ditambah rasa lapar karena belum makan siang, kami sepakat untuk makan terlebih dahulu. Kami meyebrang dan bergegas menuju KFC karena ingin makan ayam goreng, setelah di London kemarin kami makan fish and Chips. Setibanya di restaurant cepat saji itu, kami memesan 4 porsi kentang dan ayam goreng serta sebotol coca cola ukuran 1,5 liter.  Kami menyantap kentang dan ayam goreng dengan saus tomat dan saus sambel yang sengaja kami bekal dari tanah air, karena restoran tidak menyediakan saus apapun seperti halnya di Indonesia.

Selepas makan kami segera membereskan barang bawaan kami, meyakinkan tidak ada barang yang tertinggal. Coca cola yang masih tersisa sebanyak setengah botol kami bawa untuk bekal di perjalanan selanjutnya.  Dari depan restoran kami mengambil arah ke kiri atau timur mengikuti alur jalan raya. Kami terus mengikuti arah kubah stadion yang nampak dari kejauhan bersinar diterpa cahaya matahari. Karena masih penasaran, kami sempat bertanya lagi kepada seorang pria setengah baya. Ia hanya memberitahu agar kami mengikuti jalan ini saja. Kamipun mengikuti jalan sesuai petunjuk pria tadi. Namun jalan yang kami tempuh nampaknya semakin menjauh dari kubah stadion yang kami lihat tadi. Kami tiba di jembatan jalan yang melewati sungai. Namun jalan itu ternyata ditutup. Buntu. Akhirnya kami memutuskan untuk berbalik ke jalan sebelumnya.  Feeling dan logika mengatakan kami harus pergi ke arah barat, karena atap stadion yang kami lihat tadi ada di belakang restoran KFC tadi. Dengan mengucap Bismillah, kami ambil jalan ke arah barat sedikit ke utara. Kami sempat menjumpai jalan yang sedang direnovasi, mungkin ada gangguan dengan gorong-gorong dibawahnya. Lalu menyusuri jalanan yang sepertinya mengarah ke selatan. 

Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di area parkir stadion. Tapi belakangan diketahui bahwa itu tempat parkir umum yaitu North Car Park N2 East, tepat di samping stadion. Beberapa ratus meter dari lahan parkir itu, tibalah kami di depan Manchester United Stadium yang biasa dikenal dengan nama Old Trafford, tepatnya terletak di jalan  Sir Matt Busby Way.

Old Trafford adalah sebuah stadion sepak bola yang berlokasi di Old Trafford, Great Manchester, Inggris, dan merupakan markas klub sepak bola Manchester United. Dengan kapasitas 75.635 kursi. Stadion ini merupaka stadion terbesar ketiga dan stadion sepak bola terbesar  kedua di  Inggris, serta stadion kesebelas terbesar di Eropa. Stadion ini terletak sekitar 0.5 mll 0,5 mil (800) dari lapangan Kriket Old Trafford dan Satsiun trem yang dekat. (sumber ” Wikipedia Indonesia)


Mataku menatap ke bagian atas bangunan yang berdinding kaca bening kebiruan. Kubaca  dua kata yang tertera diatasnya dengan huruf besar berwarna merah” MANCHESTER UNITED”. Takjub dan haru menyelinap di hati. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah Engkau takdirkan aku berada di tempat ini. Dibawah tulisan merah besar tadi tampak patung seorang pria berpakaian jas lengkap sedang memegang bola di tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada di pinggang. Aku piker mungkin itu patung manajer MU atau pelatihnya. Entahlah aku tidak terlalu peduli. Di bagian dasar bangunan sebelah kiri dari arah kami terdapat tulisan “MEGA STORE dan ENTRANCE” sedandkan diujung kanan “MEGA STORE dan EXIT”.
Lantai halaman depan stadion tersusun dari paving blok yang diatur sedemikian rupa membentuk gambar bola yang terdiri dari beberapa segi lima putih dan segi lima merah bata. Sebuah monument dengan tiga patung pemain sepak bola diatasnya bertuliskan “THE UNITED TRINITY, BEST LAW CHARLTON” tegak berdiri di depan pintu gerbang. Sementara didalam pagar depan sebelah kiri dan kanan terdapat bangku-bangku serta meja untuk beristirahat. Dinding-dinding pagar dipenuhi dengan gambar-gambar foto para pemain sepak bola club Manchester United. Di bangku-bangku itu kami istirahat sejenak sambil menghabiskan sisa makanan yang ada di kantong jinjingan merah bermotif bunga sakura dari jepang.

Old Trafford (Dok.Pribadi)
  


Puas berfoto dan mengambil gambar di sekitar halaman depan, selanjutnya kami mengelilingi bangunan hingga bagian belakang yang menghadap ke area parkir. Bagian gedung satdion ini adalah Red Café dan Museum & Tour Centre. Bagian depan sebelah atas terdapat tulisan “SIR ALEX FERGUSEN STAND” lengkap dengan patungnya yang tengah berdiri mengenakan overcoat sambil bersedekap. Saat itu sedang tidak ada jadwal pertandingan maupun latihan jadi tidak terlalu banyak orang, kecuali wisatawan yang berkunjung saja. Kami selanjutnya bergerak ke arah kanan mengelilingi stadion hingga tiba kembali di halaman depan tadi. Kata mba Erna cukup sudah kita berada disini, dan siap melanjutkan ke Etihad Campus.


Dari halaman depan stadion, kami ambil jalan ke arah kanan, atau ke arah selatan. Sepanjang jala kami melewati rumah-rumah penduduk berdinding bata merah yang teratur rapi tanpa halaman dengan pagar tembok setinggi satu meter dari bata merah juga. Udara dingin mulai terasa ditubuh kami. Sambil merasakan udara dingin tadi, kami terus berjalan menyusuri jalanan yang sepi sambil sesekali berhenti dan bersandar pada tembok-embok pagar rumah. Di perempatan jalan kami melihat rumah khas eropa dengan cerobong asap dan jendela-jendela di atapnya. Disebrang rumah tadi tampak sebuah bangunan stadion kriket yang disebutkan dua gadis tadi. Ternyata stadion kriket yang dimaksud dua gadis remaja tadi itu ada disini. Seandainya tadi kami patuh dengan anjuran mereka, tentu kami tidak akan terlalu berputar-putar hingga di tempat tujuan tadi. Tapi itu sudah berlalu, wisatawan Indonesia konon sudah biasa tersesat, kalau tidak tersesat bukan orang Indonesia namanya. Benarkah?
Dari perempatan stadion kriket itu kami belok ke kiri lalu terus berjalan menyususrinya trotoar hingga ke stasiun pemberhentian trem di Trafford Bar kembali. Kami ambil trem dengan jalur Purple Line dan turun di Piccadilly Gardens. Lalu berjalan lagi sedikit hingga Piccadilly Garden Stop (stop D). Disini kami sempat bertanya kepada seorang petugas di tempat pemberhentian tersebut untuk menanyakan trem yang menuju ke Etihad campus. Bapak petugas tadi memberitahukan bahwa trem yang akan mengantar kami ke Etihad Campus adalah  jalur blue line dengan jurusan  Ashton under lyne – Eccles. Tidak lama kemudian trem yang ditunggu sudah dating. Kami bergegas naik. Perjalanan menuju Etihad Campus lumayan panjang, karena harus melewati 9 stasiun pemberhentian. Namun waktu yang ditempuh hanya sekitar 10 menit dan tibalah di stasiun Etihad Campus.

Etihad Campus, Manchester
(Dok.Pribadi)
Dari jalur rel, kami menaiki beberapa anak tangga. Kurang lebih 5 menit kami berjalan kami tiba di area Etihad Campus, atau stadionnya Manchester City. Sesampainya di halaman stadion, kami segera mencari tempat wudhu untuk sholat dhuhur dan ashar. Suasanannya sepi sekali. Seperti tidak ada orang disekitar ini. Kami tidak menemukan tempat yang cocok untuk sholat. Akhirnya kami sholat di antara bangku-bangku yang ada di halaman. Aku dan mbak Erna sholat lebih dulu berjamaah berdua. Sementara daeng masih mencari toilet untuk buang air kecil. Karena bingung tak tahu arah kiblat dari tempat itu akhirnya aku memutuskan sholat menghadap ke depan dari pintu masuk menuju stadion. Setelah kami selesai sholat, giliran  Novi dan Daeng yang sholat berjamaah. Aku dan mabk Erna mencoba mengamati lingkungan sekitarnya. Aku dan mbak Erna kembali ke tempat kami sholat tadi. Kulihat Daeng dan Novi yang sedang sholat berjamaah. Menggelikan juga melihat mereka sholat menghadap kea rah pinti kadatangan tadi. Artinya berlawanan dengan arah aku dan mbak Erna Sholat tadi. Tapi tak mengapa Allah Maha Tahu dan semua arah adalah milik Allah.

Manchester Cenotaph
Monumen(Dok. Pribadi)
Usai sholat kami mengelilingi stadion yang sepi ini hingga memutar kembali ke arah kedatangan kami tadi. Hari sudah semakin sore, kami harus bergegas khawatirakan ketinggalan trem yang terakhir. Anak-anak tangga yang kami turuni tidak terlalu curam namun tetap saja harus hati-hati gerakan menurun rasanya lebih berat karena kaki dan lutut kita menahan bobot badan. Begitu kami tiba di jalur rel, datanglah trem dari arah kanan yaitu jalur blue lines dari Satsiun Ashton-under-Lyne menuju Eccles. Kami langsung melompat ke dalam trem. Kami benar-benar sudah kelelahan dan terkantuk-kantuk. Namun kami harus tetap waspada jangan sampai terlelap agar tidak terbawa terus sampai tujuan akhir trem di Eccles. Empat pemberhentian kami lewati sudah, tibalah di pemberhentian terakhir kami yaitu St. Peter’s square. Bergegas kami turun dari trem untuk selanjutnya menunggu trem lain di jalur green lines jurusan Rochdale Town Centre dan turun di Exchange Square.
St. Peter’s Square adalah sebuah tempat yang sejuk dan rindang  dengan pepohonan, dimana terdapat sebuah monument bersejarah tepat di depan jalur pemberhentian trem. Bangunan monumen itu adalah Manchester Cenotaph. Manchester Cenotaph adalah sebuah peringatan perang dunia pertama yang dirancang oleh Sir EdwinLytyens untuk St. Peter’s Square, Menchester, Inggris. Di lokasi monument tersebut sendiri sudah berdiri lebih dulu bangunan gereja Santo Petrus.

Kerongkonganku rasanya kering, aku mecoba mencari sesuatu yang dapat diminum dari dalam tas selempangku. Aku teringat dengan tas jinjing yang dibawa Daeng, di dalamnya ada dua dus kue Kartika sari dan setengah botol Coca cola. Tapi saat aku menanyakan tentang tas jinjing itu Daeng tidak membawanya. Ternyata  Ia lupa menaruh tas jinjing itu di bawah jok trem saat kami terlelap tadi sekembalinya dari Etihad Campus. Berarti tas itu terbawa oleh trem tadi ke Eccles. Lalu bagaimana?  mungkinkah tas itu bisa kembali lagi ke tangan kami? Dengan rasa kecewa kami duduk di bangku taman dekat monument Cenotaph. Lalu mba Erna menyarankan untuk menghubungi Call center, barangkali operator bisa membantu kami menemukan tas tadi. Lalu mba Erna memberikan telepon genggamnya yang sudah terisi kartu sim lokal.
Aku coba menghubungi nomor yang tertera pada kaca ticketbox di halte. Dari seberang sana terdengar suara wanita.
“Hallo, what can I do for you?”
“Excuse me, mam. “I’m Mardiani. I’m foreigner. I’m from Indonesia.
“Aha, and Then?”
“I left my bag on the tram just now.
“What kind of bag?”
“It is semi-plastic bag. Red in colour and full of flower picture on it.
“What does it contain?
“Come cookies in the paper box and a bottle of Coca cola.”
“ What? Coccain?”
“No, Cookies, cakes, kind of food,”
“Which line the tram was?”
Saat itu aku tidak terlalu paham jalur apa yang aku ambil aku jawab sekenanya saja.
“I don’t know but It was from Etihad Campus.”
“Where is your posision now?”
“I’am at St. Peter’s square.”
“Allright, I will try to ceck it up. Can you tell me your number please?”
“Oh sorry, I forgot the number. Let me ask my sister, first.” Kututup telepon genggamnya dan bergegas menghampirir mbak Erna. Dan ternyata mba Erna juga tidak hafal nomornya. Jadi harus ngecek ke telepon yang sempat dihubungi tadi. Akhirnya nomor itupun didapat. Aku segera menghubungi layanan call center tadi dan memceritakan ulang kejadiannya serta memberikan nomor telepon yang kami miliki.
“Alright, I will call you when we get the information.” Ujar wanita disebrang sana. Sebetulnya percakapan kami tadi tidak semulus itu. Banyak pertanyaan yang tidak aku pahami dan tidak bisa aku ceritakan. Yang jelas masih teringat adalah suara disebrang telepon tadi suara wanita yang dalam bayanganku adalah seorang wanita dengan rambut blonde diterikat kebelakang dan mengenakan kacamata. Logat biacaranya atau dialeknya aneh ditelingaku. Mungkin British English logat Manchester.  Agak sulit juga aku memahami apa yang ia ucapkan. Percakapan tadi hanyalah sebagian dari apa yang bisa aku tangkap. Sisanya tidak jelas apa yang ia bicarakan, seperti suara orang yang sedang berkumur-kumur. Mungkin listening aku yang jelek. Sepertinya saat kuliah dulu aku dapat nilai C untuk Listening. Masih untung tidak D dan mengulang mata kuliah itu. Lupakanlah tentang kuliah Listening, itu sudah berlalu.

Akhirnya kami menunggu di bangku taman depan halte trem, berharap segera mendapatkan kabar baik dari si wanita blonde di seberang sana. Hari semakin sore, udara dingin semakin menggigit. Segera kukenankan jaket hitamku. Kutarik resleting jaketku hingga leher and bersedekap mencoba menghangatkan diri. Beberapa menit berlalu tanpa kata tanpa suara. Akhirnya mbak Erna memutuskan untuk mencari makanan di toko terdekat. Entah kemana perginya Mbak Erna aku tidak terlalu memperhatikan karena konsentrasiku tertuju pada telepon genggam menanti panggilan dari si Blonde.

Selang beberapa menit mba Erna datang membawa keripik kentang, sekotak strowberi, sekantung nectarine ( peach) dan sebotol  air mineral. Dalam sekejap langsung kami sikat habis semua makanan tadi. Sambil masih menunggu, kami menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang, semakin sore semakin banyak orang yang kami temui. Mungkin mereka hendak pulang ke rumah masing-masing setelah beraktifitas di tempat kerja atau sekolah masing- masing. Yang membuat aku heran adalah mereka berjalan santai tanpa terlihat kedinginan seperti kami. Padahal pakaian mereka terutamawanitanya sangat minim. Celana pendek dengan atasan oblong berlengan pendek, bahkan ada yang teng top pula. Memang saat itu akhir bulan Juni menjelang musim panas. Tapi bagi kami sore itu masih terasa sangat dingin.
Lama tidak ada kabar jua dari si Blonde, akhirnya kami memutuskan untuk melupakan kantong merah berbunga sakura dari jepang yang berisi kue Kartika sari dan Coca cola. Mungkin si Blonde berfikir kami adalah orang iseng yang mengerjainya karena komunikasi kami yang kurang jelas. Kami harus kembali ke Exchange Square untuk selanjutnya kembali naik Megabus menuju London. Dengan lunglai kami merelakan semua itu, segera menuju halte trem. Tidak lama kami menunggu, trem yang menuju Exchange Square yaitu jurusan Rochdale Town Centre tiba. Kami segera menaiki trem. Di halte pemberhentia pertama yaitu Exchange Square kami turun.
Hard Rock Cafe, Manchester
(Dok.Pribadi)
Hari sudah mulai malam, lampu-lampu kota sudah mulai menyala menambah keindahan kota. National Museum football nampak di depan kami. Jalanan yang kami sebrangi agak sedikit basah bekas  titik-titik gerimis air hujan. Lalu kami masuk ke gedung Printwork melewati took-toko dan restoran di dalamnya. Hard Rock café disebelah kanan yang pertama kami lewati, sudah mulai ramai oleh pengunjung. Setelah melewati beberapa toko dan resto atau café, kami keluar dari gedung Printwork, menyebrangi jalan Dantzic St. Beberapa meter kemudian belok kanan dan langsung menuju Shudehill Interchange Stand G.

Gerimis turun menemani malam kami di Manchester. Megabus yang akan membawa kami ke London akan tiba pada pukul 23.50, sekitar tiga jam lagi. Kami menunggu di dalam gedung Shudehill untuk sholat maghrib dan isya. Karena hari sudah malam toilet umum di dalam gedung sudah tutup, begitipun kios kopi disampingnya. Aku dan Daeng berkeliling dalam gedung mencari barangkali ada toilet dibagian lain. Nihil. Akhirnya kami tayamum dan sholat di ruang tunggu, beralaskan koran.
Lepas solat maghrib dan isya, ada beberapa orang masuk ke ruang tunggu, nampaknyai satu keluarga. Kami dapat mengenali dengsn jelas bahwa mereka orang Indonesia juga. Ternyata mereka satu keluarga yang ketinggalan kereta menuju Loverpool. Tidak ada kereta berikutnya malam ini. Mereka hendak mencari bus sebagai akternatif lain untuk menuju Liverpool. Sayang, counter Megabus di gedung itupun sudah tutup. Jadi mereka harus menunggu esok hari untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari hotel disekitar Shudehill. Sedangkan kami melanjutkan menunggu kedatangan Megabus.
Cuaca yang dingin menbuat rasa ingin pipis bertambah kuat. Aku merogoh saku jaketku, masih ada recehan poundsterling. Aku mengajak Daeng untuk membeli makanan di kios-kios diluar sambil numpang pipis. Pilihanku tertuju pada toko kebab Turki, yang aku rasa lebih aman kehalalannya. Dari gedung interchange kami menyebrang diiringi rintik gerimis. Kami membeli 2 pak Chips Curry seharga £5. Namun sayang mereka tidak menyediakan toilet, sehingga kami kembali ke gedung Shudehill dengan 2 pak Chips Curry. Sebungkus untuk aku dan Daeng, sebungkus lagi untuk Novi dan Mbak Erna. Dan tentang pipis itu, terpaksa harus kami tunda.
Tiba waktunya Bus datang, kami segera naik dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Setelah bus melesat meninggalkan Shudehill, aku segera ke toilet yang ada di lantai bawah untuk menumpahkan semua yang sudah ditahan sejak sore tadi. Tidak lupa berbekal tissue basah karena air dalam toilet terbatas. Akhirnya, Plong. Setelah aku naik kembali menuju jok tempat dudukku, giliran Daeng  yang turun untuk melepaskan semuanya. Begitupun Mba Erna dan Novi semua melakukan hal yang sama. Selanjutnya kami terlelap di tempat duduk masing-masing dengan kenangan seru selama di Manchester.

Sampai jumap lagi di London esok hari ...!

Nb: saran untuk kalian yang akan mengunjungi Manchester dan hendak  menggunakan trem Metrolink, sebaiknya jangan turun di stasiun pemberhentian Trafford Bar seperti kami, tapi satu halte berikutnya yaitu Old Trafford Station. Dari stasiun itu kita tinggal lurus saja melewati stadion kriket hingga tiba di tempat tujuan tanpa harus berbelok belok.









1 komentar:

  1. semoga suatu saat bisa sampe sana bareng keluargajuga....
    tapi ga pake nyasar...
    wkkkkkkkk

    BalasHapus