Rabu, 31 Juli 2019

Kisah Batik untuk Pak Ros

         Pagi yang cerah di awal musim kemarau akhir Juli 2019. Matahari dengan kuatnya  menyorotkan cahanya tepat di atas bangunan sekolah kami. Beruntung ada beberapa pohon besar yag sedikit melindungi kelas- kelas dari sorotan cahayanya yang menyilaukan mata.
 Pagi itu aku berada di kelas IX-D tengah memeriksa kelengkapan alat makan dan minum yang harus dibawa oleh para siswa dari rumah masing- masing untuk mengurangi sampah plastik di lingkungan sekolah. Saat ini sekolah kami mempunyai program one place one person, maksudnya satu orang satu wadah makanan/ minuman untuk makanan dan minuman yang mereka bawa dari rumah atau yang mereka beli di kantin sekolah.
       


Bu Eti, salah seorang rekan guru di sekolahku menghampiri sambil meletakkan tangan kanannya di atas pelipis untuk menghindari sinar matahari yang menyilaukan matanya.
“Bu Haji, itu ada tukang batik.” Bu Eti berkata sambil mengernyitkan matanya karena silau. Dalam hati aku bertanya memang kenapa kalau ada tukang batik? Aku kan tidak ada janji dengan tukang batik.
“Katanya OSIS mau beli batik buat Pa Haji Rosyidi. Itu mumpung ada tukang batik Madura yang kemarin kesini tuh, Bu.” Bu Eti mencoba menjelaskan, mungkin ia tahu kalu aku agak terheran-heran tadi.
“Oh iya, sebentar saya kesana.” Aku bergegas membuntuti Bu Eti menuju ruang guru. Di sana ada beberapa guru yang sedang memilih kain Batik. Sementara si penjual alias Mas Madura tengah membeberkan beberapa kaun batik dengan motif dan warna yang beraneka ragam. Semuanya bagus. Mataku langsung tertuju pada kain baik sogan motif bunga agak besar. Motifnya keren sekali. Warna emas dengan dasar hitam legam. Tanpa pikir panjang aku mengambilnya.
“Mas, saya ambil yang ini, ya.” Aku menunjukkan kain yang kupilih tadi. Si Mas Madura mengambil plastik pembukus dan memasukkan kain pilihanku. Kami tidak perlu melakukan tawar-menawar lagi karena beberapa waktu yang lalu kami sudah melakukannya. Setelah membayar kain yang dibeli tadi, aku segera kembali berkeliling kelas untuk mengecek kembali perlengkapan makan dan minum siswa. Baru saja tiba di teras depan kelas IX-C, Bu Eti menghapiriku lagi dengan tergopoh-gopoh.
“Bu Haji, itu Batik motif yang tadi ibu beli dibeli juga oleh Pa Ros. Ayo cepat ganti mumupung si Masnya masih belum pergi.” Bu Eti bicara dengan sedikit panik. Rekanku yang satu ini memang orangnya gampang panik.
“Ayo cepetan, Bu Haji.” Bu Eti menarik lenganku tidak sabar. Aku melangkah menuruti ajakan Bu Eti yang berjalan bergegas penuh kecemasan.
Tiba di ruang guru mataku langsung tertuju pada deretan kain batik di atas meja Pak Ros. Ada tiga motif batik yang berbeda. Salah satunya adalah motif yang sudah aku pilih tadi. Tentu saja aku harus segera memilih motif yang lain untuk ditukar dengan motif yang sudah aku pilih sebelumnya.
Bu Seha, rekanku yang lain, mengambil kain bermotif yang sama dengan pilihaku tadi, nampaknya ia tertarik juga dengan motifnya. Masih jenis sogan, corak bunga agak kecil warna oranye.
“Mas, saya mau yang ini juga,” Bu seha menunjukkan kainnya kepada si Mas Madura.
“Boleh, bu. Silahkan.” Si Mas Madura menjawab sambil mengeluarkan beberapa potong batik lagi dari tas besar yang ia bawa.
Pa Haji Rosyidi yang sudah memilih 2 potong akin batik melirik pada kain yang dipegang Bu Seha. Rupanya ia juga tertarik dengan motif itu.
“Saya juga ambil motif yang itu, Mas.” Pa Rosyidi menunjuk kea rah batik yang tengah dibungkus plastik oleh si Mas Madura. Tentu saja aku kaget, karena motif itu kan sudah aku pilih. Masa Pa Ros diberi batik yang motifnya sama dengan yang ia beli. Aku reflex melotot ke arah Bu Eti. Bu Eti tidak kalah melototnya dengan aku.
“Ayo Bu Haji ganti batiknya.” Bu Eti berbisik agar tidak terdengar oleh Pa Rosyidi. Aku mengiyakan dengan isyarat mata dan segera mengambil kain Batik yang sudah aku bayar tadi.
“Mas, boleh ganti motif ya.” Aku memberikan kainnya dan segera memilih motif yang lain. Dengan bimbang aku memilih motif lain yang aku kira cocok untuk Pa Rosyidi. Sebetulnya banyak motif dengan corak dan warna yang bagus. Tapi kurang cocok untuk laki-laki seusia Pa Ros. Warna- warna cerah seperti merah, oranye dan biru cerah. Akhirnya aku menemukan motif daun hijau yang keren dengan dasar warna abu muda. Cocok untuk laki-laki seusia Pa Rosyidi. Warna dan motifnya kalem.
“Ok, Mas. Saya pilih yang ini deh.” Aku menyerahkan motif yang barusan aku pilih. Berharap Pa Rosyidi tidak tertarik untuk memilihnya pula. Aku hendak segera  mengamankan kain itu dari pandangan Pa Rosyidi. Namun tiba-tiba Bu Sri membeberkan kain  yang lain dengan motif yang sama.
“Eh, ini motif nya bagus juga ya.” Bu Sri menyawang kain yang ia beberkan. Wadduh, bahaya nih jika Pa Rosyidi tertarik juga dengan motif ini. Dan ternyata…
“Saya juga mau yang motif itu.” Pa Rosyidi menunjuk kain yang dibeberkan oleh Bu Sri. Geli bercampur bingung, aku melirik lagi pada Bu Eti yang ternganga menyaksikan kejadian barusan.
“Bu Sri sih, ngebeber-beber depan Pa Ros. Jadi Pa Ros pengen juga.” Bu Eti menggerutu di belakangku. “Ayo Bu Haji pilih lagi yang lain jeh. Jangan diliatin ke Bu Sri, nanti dibeber-beber lagi depan Pa Ros.
“Ah siap.” Aku segera beranjak menuju meja dan memilih kain dengan motif yang lain. Aku mengintip tas besar milik si Mas Madura. Barangkali ada motif lain yang keren dan cocok. Kuaduk-aduk tas besar itu berharap menemukan yang aku cari. Bingo! Motif merak dengan dasar kain  merah hati. Aku segera menariknya dari satu ikat kain bermotif sama. Aku bawa mendekat ke arah Bu Eti.
“Bu Eti, yang ini bagus ya. Warnanya kalem tapi elegan. Gambarnya merak sedang bercumbu eh berunding.” Aku berbisik sambil menunjukkan batik yang aku ambil tadi. Jagan sampai Pa Ros ngintip lagi. Bu Eti membeberkan kain yang aku berikan. Kali ini menghadap ke belakang agar tidak terlihat oleh Pa Ros.
“Bagus, bu Haji. Saya juga pengen. Tuh cantik banget. Ini mreaknya juga keren. Warnanya bagus gak ngejreng.
“Ya sudah saya juga mau buat sendiri. Kita ambil ketiganya ya. Satu buat saya, satu buat Pa Ros, satu lagi buat BuEti, Ok? Biar Pa Ros gak bisa ikutan ngambil juga. “ Dengan girang aku menimpali ucapan Bu Eti. Aku pikir kali ini pasti berhasil. Tapi jangan- jangan  masih ada persediaan di motor si Mas nya.
“Mas, udah aku beli ini ya  tiga-tiganya. Yang tadi gak jadi. Jadi saya bayar lagi 2 ya. Yang tadi satu sudah dibayar tadi. Ini yang gak jadi saya kembalikan. Saya ambil yang motif merak marun tiga. Ok? Udah mas jangan lama-lama disininya. Tuh pindah ke kantor TU. Nanti  gak beres-beres belanja batiknya.” Selorohku mencoba mengusir si Mas Madura dengan bercanda.
Akhirnya aku dan Bu Eti jadi korban belanja juga. Padahal dari tadi sudah ditaha-tahan untuk tidak tergoda ikut membeli. Yah, sudah rezekinya si Mas Madura.  Selamat. Si Mas segera pergi berlalu ke ruang TU. Dan Pa Ros tidak tergoda untutk membeli kain yang sama.
Esok harinya, tepat tanggal 31 Juli 2019, moment itu tiba jua. Acara kejutan untuk Pa Haji Rosyidi dimulai setelah jam istirahat. Anak-anak berbaris rapi di halaman sekolah. Tumpeng dan cinderamata sudah siap. Guru-guru berderet di depan teras ruang guru. Sementara Pa Haji Rosyidi duduk santai di depan meja kerjanya di ruag Guru. Ia mengira kami akan melakukan razia  pada anak-anak. Beliau kaget dan baru sadar saat Pa Wasit meminta beliau untuk ikut keluar dan begrabung dengan kami di teras depan sekolah.
Sepatah-dua patah kata disamapaikan perwakilan siswa oleh Ananda Muhamad Arief Purnomo, dilanjutkan dengan samputan dari Ibu Kepala Sekolah  Ibu Dian Sukmawati, S.Pd, M.Si dan rekan Guru Senior yaitu Bapak Edi Supratikno, S.Pd. Lantunan puisi nan indah dan syahdu dibacakan oleh Ananda Widia khusus untuk Pa Haji Rosyidi.
Pengalungan kain Batik serta penyerahan bingkisan kenang-kenangan dari seluruh siswa  diwakili oleh Ananda Fany Dwi Puspa,. Dengan penuh haru Pa Haji Rosyidi menerima semuanya  sambil menitikkan air mata. Genap 36 tahun beliau mengemban tugas sebagai guru di SMPN 1 Lohbener dengan penuh dedikasi. Sungguh sosok yang patut kita contoh oleh kami para juniornya dalam mengemban tugas negara.
Pemotongan dan penyerahan tumpeng oleh Ibu Kepala Sekolah kepada beliau sebagai tanda syukur melengkapi prosesi pelepasan ini. Selanjutnya kami rekan-rekan guru dan staf Tata Usaha menyalami Pa Haji Rosyidi sebagai ucapan selamat atas purna tugasnya diikuti oleh para siswa sambil menyanyikan lagu trima kasihku. Terlihat Pa Haji Rosyidi kembali meneteskan air mata haru. Aku segera menyodorkan sehelai tissue padanya sambil sedikit terisak pula, terbawa suasana haru.
Prosesi terakhir sebelum makan tumpeng adalah potret bersama. Salah astu bagian penting dalam pendokumentasian kegiatan sekolah.
***
Usut punya usut, ternyata Kemarin Pa Rosyidi itu bingung memilih motif batik yang akan beliau beli untuk istri , anak dan dirinya sendiri. Maka beliau mengandalkan selera kami ibu-ibu yang biasa belanja batik. Beliau yakin benar bahwa Batik yang kami pilih pasti batik yang bagus karena selera kami memang OK. Makanya, ketika kami menentukan sebuah motif maka itulah pilihannya juga. Hmmmm cerdasnya Pa haji Rosyidi. Hebatnya Ibu-ibu Saloh.

Lohbener,  Rabu 31 Juli 2019/ 28 Dzulqoidah 1440H





Tidak ada komentar:

Posting Komentar