6. From London to
Germany
Tetes air hujan menimpa kaca jendela Megabus disamping
kursiku, mengalir membentuk jalur yang terus bergerak kebawah berkelok-kelok.
Dini hari Jumat 30 Juni 2017 dalam perjalanan menuju London, sambil
senyam-senyum mengenang perjalanan seharian kemarin di Manchester, melalui
jendela bus, aku menatap jalanan yang sepi, rumah-rumah, kebun dan pepohonoan.
Tiba-tiba tabletku bergetar, alarm tanda waktu sholat subuh. Kulihat
disampingku, Daeng terlelap nyenyak. Kusenggol dengan sikut kiriku.
“waktunya,
sholat subuh,” bisiku pelan namun mampu menyadarkan Daeng dari lelap tidurnya.
“huaa….,”
Daeng menguap dan beranjak menuju toilet di kabin bawah.
Kuraba dinding Bus dibawah jendela dengan dua telapak tanganku, meniupnya dan
mengusapkannya kewajahku, lalu kuusap kedua telapakntanganku hingga pergelangan
secara bergantian. Kurapikan pakaianku meyakinkan tidak ada aurat yang terbuka,
lalu sholat 2 rakaat dengan niat sholat subuh. Tidak lama berselang, Daeng tiba
di jok sampingku, ia melakukan hal yang sama denganku. Selesai sholat aku
membangunkan mbak Erna dan Novi yang duduk di jok depan kami. Merekapun
melakukan hal sama dengan kami. Berhubung persediaan air sangat terbatas maka
tayamum menjadi pilihan kami.
Kurang
lebih 5 jam di perjalanan, akhirnya kami tiba di stasiun bus Victoria, London.
Suasana sangat sepi, karena hari masih sangat pagi. Dingin dan lapar menerpa
diri kami. Satu-satunya Café yang buka 24 ja hanya Star Buck, penuh oleh
pengunjung yang mencari kehangatan. Kopi menjadi menu utama yang mereka serbu.
Mba Erna memesan 4 cup coklat panas dan 4 buah roti croissant. Kami
menghabiskan sarapan di Star Buck sambil menunggu hari agak siang. Beberapa puluh
menit berlalu, kamipun beranjak dari staiun bus menuju stasiun bawha tanah,
Victoria Underground station, dengan berjalan kaki menyususri jalan Buckingham
palace Road. Suasana sudah mulai ramai, bus- bus tingkat merah, double decker,
sudah berlalu lalang di jalanan. Kami menyempatkan diri berfoto dengan latar
belakang double-decker merah khas London.
Destinasi
kami hari ini adalah Wisma Nusantara di Bishop Grove N2, untuk menemui mas Aan,
teman kami yang saat itu sedang di London juga untuk mengajar angklung kepada
ibu- ibu istri pegawai yang bertugas di London. Mas Aan adalah teman kami di
UPI dulu saat aktif bermain angklung di KABUMI UPI, yaitu kegiatan mahasiswa
yang bergerak dibidang kesenian. Mbak Erna sudah mengkonfirmasikan kedatangan kami
kepada mas Aan. Tapi ternyata mas Aan sendiri tidak tinggal di Wisma Nusantara,
tapi di wisma mahasiswa Indonesia kalo tidak salah. Dan saat itu mas Aan juga
dalam perjalanan menuju tempat yang sama yaitu Wisma Nusantara.
Dari
stasiun bawah tanah kami ambil tube dengan platform 3 menuju Euston Underground
station dengan melewati 5 pemberhentian. Dari Euston kami ganti dengan platform
1 menuju East Finchley Underground station dengan melewati 8 pemberhentian.
Dari sini kami harus jalan kaki lagi unutk menuju Bishop Avenue. Kami sempat
menanyakan arah menuju ke Bishop Evenue kepada seorag pria yang berpapasan
dengan kami di pintu keluar stasiun. Lalu kami mengikuti petunjuknya. Dari depan satsiun kami menyususri jalan
Great North Road. Banyak rumah-rumah yang berpagarkan tanaman hijau di
sepanjang jalan yang kami lalui. Seperti biasa penasaran belum menjumpai jalan
yang dimaksud, kami bertanya lagi pada seseorang yang kami temui di jalan.
Prinsip kami tetap sama, malu bertanya sesat di jalan, walau kadang banyak
bertanya malu-maluin di jalan.
Taxi London (Dok Pribadi) |
Jalanan
aspal yang kami lalui agak sedikit
menanjak, kiri kananya terdapat pagar tanaman yang tinggi dan rapat. Di ujung
jalan tampak gerbang pintu dari bata merah dengan pagar dari besi berwarna
hitam. Disisi kiri gerbang terdapat lambang negara Indonesia Burung Garuda
berwarna emas. Dibawahnya terdapat tulisan “EMBASSY OF THE REPUBLIC INDONESIA.
Wisma NUSANTARA. Tiba disini kami agak bingung bagaimana kami bisa masuk ke
dalam. Suasana sangat sepi mungkin terlalu pagi kami datang. Akhirnya kami
menemukan tombol bel dan memijitnya. Untuk beberapa saat tidak ada reaksi dari
dalam. Kami masih bengong di depan gerbang persis orang hilang. Seorang pria
setengah baya dengan perawakann kekar berkaos hitam keluar dari samping
bangunan utama. Ia melangkah mendekati, dengan tatapan agak mencurigai. Mungkin
dia berfikir ini ada orang pengungsi dari Indonesia yang nyasar dan mau minta
perlindungan.
Setelah
kami menjelaskan bahwa kami adalah teman mas Aan dan tujuan kami untuk bertemu
mas Aan di tempat ini sesuai kesepakatan dengan mas Aan sebelumnya. Akhirnya
pria tadi membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Bangunan Wisma
Nusantara bentuknya sederhana berdinding bata merah. Teras depan Pintu masuk berpilar
putih begitupun kusen pintu dicat putih. Di kiri-kanan terdapat jendela
berbingkai putih. Di atas pintu terpampang Burung Garuda Emas. Sebelum ruangan
utama kami melewati ruang tamu kecil. Disana terdapat meja kerja dari kayu jati
berhias ukiran jepara beralaskan kaca. Tangga melingkar ke lantai atas di
sebelah kiri dan kanan ruangan. Patung-patung dan hiasan-hiasan khas Nusantara
menambah indah ruangan. Di ruang utama kami dipersilahkan duduk di kursi yang
menhelilingi meja panjang. Tidak lama kemudian muncul seorang wanita, dari cara
bicaranya kemungkinan dia keturunan jawa. Wanita itu membawakan kami beberapan
cangkir teh manis hangat dan penganan dalam piring. Ia meletakkannya di atas
meja besar dan mempersilahkan kami untuk meminumnya. Ternyata ia adalah kepala
rumah tangga di wisma ini. kami menceritakan asal dan awal perjalanan kami
hingga tiba di wisma ini. wanita itupun menyambutnya denagn ramah.
Disebelah
kiri ruang utama terdapat ruang untuk berlatih angklung lengkap dengan peralata
angklung, akompanye, perkusi, Bas dan partiture. Selang beberapa menit akhirnya
mas Aan datang. Senang sekali kami bisa berjumpa dengan teman setanah air di
negeri orang, bahkan saya pribadi jarag bertemu dengan mas Aan sendiri di tanah
airpun, karena saya tinggal di Indramayu sementara mas Aan walau asli orang
Cirebon tapi beliau tinggal di Bandung. Kemudian mulailah berdatangan ibu- ibu
yang akan berlatih angklung bersama mas Aan. Ternyata salah satu dari ibu- ibu
itu adalah istri dari pejabat atase kebudayaan yaitu istri dari professor Aminudin Aziz yang juga Dosen saya sewaktu
saya kuliah di IKIP Bandung. Kami ngobrol sebentar dan segera pamit karena
ibu-ibu itu akan segera berlatih dan kamipun harus segera pergi menuju
destinasi selanjutnya yaitu masjid central London serta menjemput ibu di Plaistow.
Dari
wisma Nusantara kami kembali berjalan kaki hingga jalan besar yang kami
sebrangi tadi yaitu Aylmer Road. Ibu Aminudin tadi sempat memberi saran kepada
kami untuk mengambil moda bus no 102 dengan tujuan akhir Golders Green di halte
sebelah kiri jalan, jadi kami tidak perlu menyebrang jalan. Tak lama kemudian
bis yang kami tunggu datang. Satu persatu dari kami menaiki bus dengan
menempelkan kartu oyster sebangai alat pembayaran non tunai. Namun saat kartu oysterku ditempelkan
ke kotak sensor, mesin sensornya tidak
mersepon. Ternyata pulsa di kartuku sudah habis. Lalu aku pakai kartu milik ibu
yang kebetulan ditiipkan ibu kepadaku hari sebelumnya, dan ternyata sama tidak
merespon. Kami jadi bingung, sementara disekitar sini tidak ada kedai penjual
pulsa. Lalu driver menyarankan untuk menggunakan kartu debet atau kartu kredit.
Namun saat digesek sensorpun tetap tidak merspon. Jadi bagaimana nih? Dalam
kebimbangan itu sang draiver akhirnya mempersilahkan aku naik dengan free
charge. Driver yang baik hati. Mungkin ia merasa kasian kepadaku.
“Thank
you so much, sir.” Ucapku dengan senyum semanis mungkin. Dia hanya
menggut-manggut dan mejalankan bus setelah pintu tertutup rapat. Dengan perasaan
lega kami duduk di dalam bus. Untuk dapat melanjutkan perjalanan kami harus mengisi pulsa kartu pyster kami. Maka
sepanjang jalan dalam bus kami mengamati jika ada toko yang menjual pulsa
oyster. Setelah kami melewati beberapa halte kami sempat melihat ada toko yang
menjual pulsa oyster. Maka kamipun segera turun di halte berikutnya. Kemudian
berjalan kaki ke toko yang tadi kami sempat lihat saat berada dalam bus.
Tokonya tidak terlalu besar, menjual makanan kecil, miunuman, pernak-pernik
assesoris dan souvenir. Kami mengisi semua kartu dengan pulsa yang diperkirakan
cukup untuk perjalana kami selama di london seharian ini. beruntung kartu debet
mba Erna bisa dipergunakan untuk membayar belanjaan kami. Kami naik bus jurusan
yang sama dengan sebelumnya dan turun di Addison way stop C. lalau berganti bus
no. 13 jurusan Victoria. Kebetulan bus double decker yang kami tumpangi tidak
terlalu banyak penumpang, jadi kami bebas memilih kursi yang kami sukai. Kami
memilih kursi di deck atas /lantai kedua. Di stop P yaitu London central mosque
kami turun dan berjlan kaki sekitar 200 meter menuju masjid.
Saat
itu hari jumat menjelang waktu dhuhur, jadi sudah banyak orang-orang yang
berkerumun di depan masjid. Kami mencari kantin masjid untuk membeli makanan
sambil menunggu Daeng sholat Jum’at nanti. Ternyata di kantin masjid itu dijual
timur tengah dan makanan turki jadi kami memesan nasi briyani 3 porsi. Jus
jeruk kemasan 4 buah dan sosis beberapa potong. Daeng segera menuju masjid
untuk mengikuti sholat jumat karena adzan sudah berkumandang. Sementara kami
bertiga menunggu di kantin sambil makan siang. Sementara mbak Erna setelah
makan beberapa sendok nasi dan sosis segera keluar untuk melanjutkan perjalanan menjemput ibu di
plaistow karena Ema yang dititipi ibu harus meninggalkan rumah karena ada
keperluan di luar rumah. Maka, aku dan novi menunggu di kantin masjid.
Ternyata
porsi nasi yag kami beli sangat banyak. Untung tadi kami hanya memesan 3 porsi
saja. itupun masih tersisa banyak. Setelah sholat jumat usai dan Daeng tiba
kembali di kantin untuk makan siang, kini giliran Aku dan novi untuk menunaikan
sholat dhuhur dijama dengan ashar. Kami naik terlebih dahulu ke lantai atas,
karena kantin terletak di lantai dasar bagian mesjid, lalu urun lagi ke lantai
dasar untuk mengambil wudhu. Di lantai dasar sudah banyak ibu-ibu, kebanyakan
orang-orang turki. Kami mengantri untuk ke toilet dan tempat wudhu. Tidak
seperti di toilet umum lainnya, di sisni kami bisa menemukan gayung dan ember
kecil untuk bersih-bersih. Setelah bersih-bersih di toilet kami berwudhu di
kran air yang berjejer di ruang tempat wudhu.
Saat
antri berwudhu aku berpapasan dengan seorang ibu dengan anak perempuannya ,
orang Indonesia. Kami saling menyapa dan menayakan asal. Ternyata ibu dan anak
gadisnya tadi orang Cirebon, ya tetanggalah dengan Indramayau. Senang rasanya
bertemu saudara sekampung di negeri orang. Mereka datang bertiga dengan
suaminya. Dan baru beberapa hari berada di London. Dilantai dasar itu ada
ruangan khusus untuk sholat wanita, jadi kami tidak sholat di ruang utama
masjid sebagaimana para pria biasa sholat. Selesai sholat kami kembali ke kantin
mengambil barang-barang bawaan yang tadi ditinggal disana bersama Daeng yang
sedang makan siang.
Dari
depan masjid di Alpha Close (stop A) kami naik bus no. 13 Jurusan Victoria. Setelah
melewati 6 pemberhentian kamit turun di Marble Arch Station Park Lane (Stop R).
Lalu kami berjalan kaki beberapa meter menuju Underground station untuk menggunakan
tube central merah dan turun di stasiun Queensway. Dari Queensway kami jalan
kaki kearah utara lalu belok kanan ke jalan inverness menuju hostel tempat kami
menitipkan koper-koper kami dua hari yang lalu sebelum berangkat ke Manchester.
Koper-koper
sudah siap kami turunkan dari gudang penyimpanan. Sekarang kami tinggal
menunggu mba Erna yang sedang menjemput ibu di rumah Ema di Plaistow. Kami
menunggu di lobi hostel sambil mencas telepon genggam dan tablet. Sesekali
membaca koran dan majalah yang tersedia di meja tamu. Sekitar satu jam
kemudian, mbak Erna datang. Ia datang sendiri saja. Ternyata ibu sudah menunggu
di stasiun bus Victoria. Kata mba Erna kasihan kalau ibu ikut bolak balik, toh
tujuannya adalah stasiun Victoria. Nati kita ketemu di sana dengan beliau.
Kamipun pamit kepada si mba bule yang menjaga meja resepsionis. Kali ini kami
naik bus jurusan Victoria jadi tidak ke stasiun bawah tanah lagi. Kami menunggu
bus di jalan Bayswater road.
Alhamdulillah
kartu oyster kami tidak ada masalah lagi karena sudah diisi ulang tadi sewaktu
perjalanan menuju masjid. Bus melaju dengan kecepatan stabil meskioun jalanan
lenggang. Kalu di jalur pantura pasti sudah ngebut sekebut-kebutnya. Kami
melewati marble arch, semacam gerbang kerajaan yang megah dengan ornamennya
yang indah. Tampak banyak wisatawan yang sedang berkunjung disana. Lalu kami
melewati jalan Park Lane lurus terus hingga melingkari wellington Arch dan masuk ke jalan
Grosvenor PL. Seharusnya kami turun
di wilton street (stop S) tapi karena
kurang paham jadi kami malah terus saja sampai di Westminster Cathedral (Stop
M). dari sisni kami harus jalan kaki
lebih jauh sambil memngeret koper dan barang bawaan lainnya. Entah cara aku
yang salah saat menarik koper atau memang kopernya sudah kelelahan, salah satu
roda koperku patah, jadi aku tidak bisa menggeret koperku, tapi harus diangkat.
Sudah jalan kaki, harus nengangkat koper , berat pula. Disinilah kesabaran kami
diuji. Alhamdulillah dengan perlahan dan pasti kami menyususri jalanan dari
Westminster Chatedral melewati Victoria
street, lalu Buckingham Place Road hingga perempatan jalan Elizabeth mungkin
ada satu kilometer lebih dan sampailah di depan stasiun bus Victoria ( Victoria
Coach Station).
Bergegas
kami memasuki stasiun langsung mencari ibu yang sudah menunggu di lobi stasiun.
Nampak ibu sedang duduk di bangku panjang sambil memeluk tas tentengan. Senang
rasanya bertemu ibu lagi, setelah hampir dua hari tidak bersama-sama. Saat
hendak masuk ke lobi stasiun, kami tanpa sengaja melihat seorang lelaki tinggi
besar berkulit hitam buang air kecil menghadap tembok stasiun, menjijikan.
Ternyata di negara maju seperti ini ada juga orang yang berpriilaku jorok
seperti itu. Kata mba Erna mungkin dia tidak puanya uang untuk membayar toilet
umum. Untuk menggunakan toilet umum kita harus membayar 35 pence (1
poundsterling = 100 pence), kalau tidak ada 35 pence pintu masuk toilet tidak
akan terbuka. Kalau di rupiahkan sekitar 6 ribu rupiah. Setelah duduk-duduk dan
berbincang-bincang bersama ibu, kami beranjak menuju bagian dalam stasiun.
Kali
ini bus yang akan kami tumpamgi adalah Flix Bus dengan tujuan Weinheim Jerman.
Saat kami tiba di stasiun tadi, waktu masih pukul 18. Jadi kami harus menunggu
sekitar 3 jam setengah karena bus akan berangkat pukul 21.30. Akhirnya kami
menunggu di lorong yang ada bangku-bangku panjangnya. Kulihat beberpa orang
tengah duduk di bangku dengan koper dan tas jinjing di sekitarnya. Mungkin
mereka juga sedang menunggu kedatangan bus. Rasa kantuk tak tertahankan,
setelah kemarin seharian di Manchester serta perjalanan tadi pagi hingga siang
ini yang melelahkan. Akhirnya aku tertidur di bangku disamping Daeng yang tetap
terjaga mengawasi barag bawaan kami. Sementara disebrang sana ibu dan Novi
serta Mba Erna juga duduk dibangku panjang sambil beristirahat meski tidak
tertidur.
Entah
berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mata kulihat banyak orang berlalu
lalang di depan kami, nampaknya penumpang yang hendak naik bus yag jadwalnya
sudah dekat. Mereka segera memasuki ruang tunggu penumpang. Bermacam ragam gaya
dari mereka yang sempat kami amati. Mulai dari yang berpakaian sangat tertutup
dngan jaket, mantel, topi, hingga yang setengah terbuka dengan celana pendek
dannteng top. Yang unik adalah seorang nenek mungkin seusia ibuku 70 tahunan,
berjalan sendiri menggeret koper dan membawa tas jinjing. Gerakannya masih
lincah, ringan sepertinya tidak ada beban. Dia berjalan sendiri tak ada yang
menemani tapi tetap percaya diri. Nenek mandiri.
Selang beberapa waktu kami
beringsut menuju ruang tunggu penumpang. Banya sekali orang yang antri di ruang
itu. Beruntung kami masih mendapatkan bangku untuk duduk. Pada layar televisi tampak
jadwal keberangkatan bus dengan nomor registrasi serta tempat tujuan. Dari mikrofon terdengar nomor keberangkatan
bus kami sudah disebutkan. Kami segera menuju pintu keberangkatan. Menunjukkan
tiket dan passport kepada petugas lalu menaiki bus dan memilih tenpat duduk
yang nyaman. Seperti biasa kami memilih kursi yang dekat tangga menuju toilet.
Ibu dan Novi duduk di depan tangga. Dibelakangya aku dan Daeng. Sementara mba
Erna duduk di sebrang tempat duduk ibu dan Novi. Pukul 21.30 Flix bus pun melaju
meninggalkan kota London. Selamat tinggal London yang penuh kenangan. Entah
kapan kami akan mengunjungimu kembali. Just wait and see. Who Knows?
Perjalanan menuju Jerman dimulai. Bismillāhi tawakkaltu ‘ala Allāh wa lā ḥaula wa lā quwwata illā
billāhi ‘l-’aliyyi ‘l-’aẓhīm. Perjalanan malam selalu kami manfaatkan
untuk beristirahat. Akupun segera tertidur dengan nyenyaknya. Kecepatan
kendaraan yang stabil serta temspat duduk yang nyaman membuat istirahat kami
tidak banyak terganggu. Setelah beberapa watu dalam perjalanan, bus berhenti di
perbatasan Perancis, semua penumpang harus turun dan menununjukkan passpornya
masing-masing kepada petugas perbatasan. Ada dua orang berseragam tentara
lengkap dengan senjata api di tangan mereka. Serta seorang petugas yang memerikda
passport dan membubuhi stempel di passport kami. Lalu kami kembali ke dalam bus
untuk melanjutkan perjalanan. Buspun melaju kembali melanjutkn perjalanannya.
Tidak lama kemudian kami tiba di
pelabuhan Dover, bus kami naik ke kapal ferry bertuliskan P&O. seluruh penumpang kembali diminta
untuk turun dari bus dan naik ke dek penumpang di deck atas. Tadinya ibu tidak
akan turun dan hendak diam di dalam bus saja, tapi kami dilarang berada dalam
bus karena bus akan dikunci dan tidak diperkenankan ada orang dalam bus.
Akhirnya ibupun ikut naik ke deck atas. Kami naik melalui lift tidak
menggunakan tangga manual karena ibu sudah tidak kuat naik turun tangga. Perlahan
ferry menyebrangi selat Dover menuju pelabuhan Calais dengan kecepatan 33km
dalam waktu 90 menit. Dalam ferry penumpang bisa menikmati banyak fasilitas. Ada
café yang menyediakan aneka makanan dan minuman, took yang menawarkan
barang-barang bermerk terkenal dengan harga hemat, tempat bermain untuk
anak-anak dan fasilitas lainnya. Namun rasa kantuk kami belum usai, maka di
atas deck kapal kami pun tertidur. Kami tidak sempat melihat-lihat pemandangan
saat kami menyebrang selat, selain gelap malam, rasa kantuk lebih kuat menerpa
kami. Padahal jika siang hari kita bisa menikmati pemandangan karang terjal
putih di tepi pantai yang indah.
Sekitar satu jam setengah diatas
ferry, akhirnya kami tiba di pelabuhan Calais. Semua penumpang kembali ke dalam
bus nya masing-masing. Perjalananpun kembali dilanjutkan. Bus kembali melaju
dengan kecepatan stabil membuat kami merasa nyaman untuk terlelap kembali.
Sementara gerimis terus menemani perjalanan kami. Di beberapa tempat pemberhentian
bus menurunkan penumpang satu dua orang. Ada pula penumpang yang naik di
tempat-tempat tertentu. Keesokan paginya tepat hari sabtu tanggal 1 Juli 2017
sekitar pukul 8.20 kami tiba di satsiun bus di Brussels north Station, Belgia.
Kami harus turun disini untuk ganti dengan bus yang akan membawa kami ke
Weinheim Jerman. Bis selanjutnya masih dari perusahaan yang sama yaitu Flix
bus, akan berangkat dari Brussels pukul 10. 20. Jadi kami memiliki aktu sekitar
2 jam untuk menunggu bus berikutnya. Gerimis masih terus menyertai kami. Kami
terpaksa berteduh di halte bus.
Mba Erna meminta payung kecil untuk
digunakannya pergi ke mall yang ada di samping stasiun. Beberapa menit kemudian
mba Erna datang membawa roti croissant untuk sarapan. Karena masih pagi jadi
took-toko di mall masih tutup. Beruntung ada toko roti yang sudah buka. Sambil
menunggu bus, kami sarapan roti croissant di halte bus. Beberpa orang sempat
datang dan pergi di halte itu. Mereka para penumpang Bus dalam kota. Seorang
wanita berhijab memberi slam kepada kami. Kami segera membalasnya. Dari tipe
wajahnya ia spertinya orang Turki. Gerimis masih terus menyirami bumi. Tibalah
pukul 10.20, flixbus yang kami tunggu datang, tepat waktu. Tidak kurang tidak
lebih. Kami segera menaiki bus diiringi rintik hujan gerimis. Perjalanapun
berlanjut. Kali ini lenih banyak melalaui jalan bebas hambatan tapi tidak
berbayar alias gratis. Di tengah
perjalanan bus singgah di rest area. Kesempata ini digunakan oleh penumpang
untuk ke toilet dan membeli penganan serta minuman.
Perjalanan selanjutnya aku nikmati
dengan melihat pemandangan sepanjang jalan. Kota-kota yang dilewati jalananya
tidak terlalu besar, tapi rapih dan bersih. Jalannya kebanyakan terbuat dari
susunan batu-batu yang rapi, bukan aspal. Aspal ditemukan bila kita sudah masuk
ke jalan bebas hambatan. Hujan masih saja menamani perjalanan kami. Hingga
akhirnya kami tiba di Weinheim sekiar pukul 18.00. Dari jendela bus aku melihat
adikku Ening sudah menunggu kami di stasiun Weinheim. Alhamdulillah.
Setelah bus masuk ke stasiun dan
parkir di tempat menurunkan penumpang, kami segera turun dan mengambil bagasi
kami masing-masing. Adikku Ening segera mnghampiri kami, memeluk kami satu
persatu. Karena mobil yang Ening bawa jenisnya sedan, maka kami tidka bisa
masuk semua, apalagi koper-koper kami kan banyak dan besar. Akhirnya
dipespakati aku, daeng dan ibu serta beberapa koper besar naik mobil Ening.
Sementara Mba Erna dan Novi dengan tas –tas kecil yang ringan naik kereta api.
Dan berangkatlah kami menuju apartement tempat tinggal Ening di Manheim,
sekitar satu jam dari Weinheim.
Alhamdulillah, akhirnya kami bisa
berkumpul bersama, kulihat ibu menitikkan air mata tanda bahagia berkumpul
dengan anak-anak tercintanya. Kami melepas rindu dengan berbincag-bincang
menceritakan perjalana kami milai dari rumah hingga di Weinheim tadi. Sambil
membongkar koper-koper kami untuk mengambil baju ganti. Bergantian kami
membersihkan diri. Sholat maghrib dan Isya. Lalu menyantap makan malam yang
sudah disediakan oleh Ening dan selanjutnya lagi karena hari suadh larut malam.
Esok kita akan memulai tour di sekitar Jerman. Entah akan dibawa kemana kami
oleh Ening.
Sampai jumpa esok hari.