Rabu, 31 Juli 2019

Kisah Batik untuk Pak Ros

         Pagi yang cerah di awal musim kemarau akhir Juli 2019. Matahari dengan kuatnya  menyorotkan cahanya tepat di atas bangunan sekolah kami. Beruntung ada beberapa pohon besar yag sedikit melindungi kelas- kelas dari sorotan cahayanya yang menyilaukan mata.
 Pagi itu aku berada di kelas IX-D tengah memeriksa kelengkapan alat makan dan minum yang harus dibawa oleh para siswa dari rumah masing- masing untuk mengurangi sampah plastik di lingkungan sekolah. Saat ini sekolah kami mempunyai program one place one person, maksudnya satu orang satu wadah makanan/ minuman untuk makanan dan minuman yang mereka bawa dari rumah atau yang mereka beli di kantin sekolah.
       


Bu Eti, salah seorang rekan guru di sekolahku menghampiri sambil meletakkan tangan kanannya di atas pelipis untuk menghindari sinar matahari yang menyilaukan matanya.
“Bu Haji, itu ada tukang batik.” Bu Eti berkata sambil mengernyitkan matanya karena silau. Dalam hati aku bertanya memang kenapa kalau ada tukang batik? Aku kan tidak ada janji dengan tukang batik.
“Katanya OSIS mau beli batik buat Pa Haji Rosyidi. Itu mumpung ada tukang batik Madura yang kemarin kesini tuh, Bu.” Bu Eti mencoba menjelaskan, mungkin ia tahu kalu aku agak terheran-heran tadi.
“Oh iya, sebentar saya kesana.” Aku bergegas membuntuti Bu Eti menuju ruang guru. Di sana ada beberapa guru yang sedang memilih kain Batik. Sementara si penjual alias Mas Madura tengah membeberkan beberapa kaun batik dengan motif dan warna yang beraneka ragam. Semuanya bagus. Mataku langsung tertuju pada kain baik sogan motif bunga agak besar. Motifnya keren sekali. Warna emas dengan dasar hitam legam. Tanpa pikir panjang aku mengambilnya.
“Mas, saya ambil yang ini, ya.” Aku menunjukkan kain yang kupilih tadi. Si Mas Madura mengambil plastik pembukus dan memasukkan kain pilihanku. Kami tidak perlu melakukan tawar-menawar lagi karena beberapa waktu yang lalu kami sudah melakukannya. Setelah membayar kain yang dibeli tadi, aku segera kembali berkeliling kelas untuk mengecek kembali perlengkapan makan dan minum siswa. Baru saja tiba di teras depan kelas IX-C, Bu Eti menghapiriku lagi dengan tergopoh-gopoh.
“Bu Haji, itu Batik motif yang tadi ibu beli dibeli juga oleh Pa Ros. Ayo cepat ganti mumupung si Masnya masih belum pergi.” Bu Eti bicara dengan sedikit panik. Rekanku yang satu ini memang orangnya gampang panik.
“Ayo cepetan, Bu Haji.” Bu Eti menarik lenganku tidak sabar. Aku melangkah menuruti ajakan Bu Eti yang berjalan bergegas penuh kecemasan.
Tiba di ruang guru mataku langsung tertuju pada deretan kain batik di atas meja Pak Ros. Ada tiga motif batik yang berbeda. Salah satunya adalah motif yang sudah aku pilih tadi. Tentu saja aku harus segera memilih motif yang lain untuk ditukar dengan motif yang sudah aku pilih sebelumnya.
Bu Seha, rekanku yang lain, mengambil kain bermotif yang sama dengan pilihaku tadi, nampaknya ia tertarik juga dengan motifnya. Masih jenis sogan, corak bunga agak kecil warna oranye.
“Mas, saya mau yang ini juga,” Bu seha menunjukkan kainnya kepada si Mas Madura.
“Boleh, bu. Silahkan.” Si Mas Madura menjawab sambil mengeluarkan beberapa potong batik lagi dari tas besar yang ia bawa.
Pa Haji Rosyidi yang sudah memilih 2 potong akin batik melirik pada kain yang dipegang Bu Seha. Rupanya ia juga tertarik dengan motif itu.
“Saya juga ambil motif yang itu, Mas.” Pa Rosyidi menunjuk kea rah batik yang tengah dibungkus plastik oleh si Mas Madura. Tentu saja aku kaget, karena motif itu kan sudah aku pilih. Masa Pa Ros diberi batik yang motifnya sama dengan yang ia beli. Aku reflex melotot ke arah Bu Eti. Bu Eti tidak kalah melototnya dengan aku.
“Ayo Bu Haji ganti batiknya.” Bu Eti berbisik agar tidak terdengar oleh Pa Rosyidi. Aku mengiyakan dengan isyarat mata dan segera mengambil kain Batik yang sudah aku bayar tadi.
“Mas, boleh ganti motif ya.” Aku memberikan kainnya dan segera memilih motif yang lain. Dengan bimbang aku memilih motif lain yang aku kira cocok untuk Pa Rosyidi. Sebetulnya banyak motif dengan corak dan warna yang bagus. Tapi kurang cocok untuk laki-laki seusia Pa Ros. Warna- warna cerah seperti merah, oranye dan biru cerah. Akhirnya aku menemukan motif daun hijau yang keren dengan dasar warna abu muda. Cocok untuk laki-laki seusia Pa Rosyidi. Warna dan motifnya kalem.
“Ok, Mas. Saya pilih yang ini deh.” Aku menyerahkan motif yang barusan aku pilih. Berharap Pa Rosyidi tidak tertarik untuk memilihnya pula. Aku hendak segera  mengamankan kain itu dari pandangan Pa Rosyidi. Namun tiba-tiba Bu Sri membeberkan kain  yang lain dengan motif yang sama.
“Eh, ini motif nya bagus juga ya.” Bu Sri menyawang kain yang ia beberkan. Wadduh, bahaya nih jika Pa Rosyidi tertarik juga dengan motif ini. Dan ternyata…
“Saya juga mau yang motif itu.” Pa Rosyidi menunjuk kain yang dibeberkan oleh Bu Sri. Geli bercampur bingung, aku melirik lagi pada Bu Eti yang ternganga menyaksikan kejadian barusan.
“Bu Sri sih, ngebeber-beber depan Pa Ros. Jadi Pa Ros pengen juga.” Bu Eti menggerutu di belakangku. “Ayo Bu Haji pilih lagi yang lain jeh. Jangan diliatin ke Bu Sri, nanti dibeber-beber lagi depan Pa Ros.
“Ah siap.” Aku segera beranjak menuju meja dan memilih kain dengan motif yang lain. Aku mengintip tas besar milik si Mas Madura. Barangkali ada motif lain yang keren dan cocok. Kuaduk-aduk tas besar itu berharap menemukan yang aku cari. Bingo! Motif merak dengan dasar kain  merah hati. Aku segera menariknya dari satu ikat kain bermotif sama. Aku bawa mendekat ke arah Bu Eti.
“Bu Eti, yang ini bagus ya. Warnanya kalem tapi elegan. Gambarnya merak sedang bercumbu eh berunding.” Aku berbisik sambil menunjukkan batik yang aku ambil tadi. Jagan sampai Pa Ros ngintip lagi. Bu Eti membeberkan kain yang aku berikan. Kali ini menghadap ke belakang agar tidak terlihat oleh Pa Ros.
“Bagus, bu Haji. Saya juga pengen. Tuh cantik banget. Ini mreaknya juga keren. Warnanya bagus gak ngejreng.
“Ya sudah saya juga mau buat sendiri. Kita ambil ketiganya ya. Satu buat saya, satu buat Pa Ros, satu lagi buat BuEti, Ok? Biar Pa Ros gak bisa ikutan ngambil juga. “ Dengan girang aku menimpali ucapan Bu Eti. Aku pikir kali ini pasti berhasil. Tapi jangan- jangan  masih ada persediaan di motor si Mas nya.
“Mas, udah aku beli ini ya  tiga-tiganya. Yang tadi gak jadi. Jadi saya bayar lagi 2 ya. Yang tadi satu sudah dibayar tadi. Ini yang gak jadi saya kembalikan. Saya ambil yang motif merak marun tiga. Ok? Udah mas jangan lama-lama disininya. Tuh pindah ke kantor TU. Nanti  gak beres-beres belanja batiknya.” Selorohku mencoba mengusir si Mas Madura dengan bercanda.
Akhirnya aku dan Bu Eti jadi korban belanja juga. Padahal dari tadi sudah ditaha-tahan untuk tidak tergoda ikut membeli. Yah, sudah rezekinya si Mas Madura.  Selamat. Si Mas segera pergi berlalu ke ruang TU. Dan Pa Ros tidak tergoda untutk membeli kain yang sama.
Esok harinya, tepat tanggal 31 Juli 2019, moment itu tiba jua. Acara kejutan untuk Pa Haji Rosyidi dimulai setelah jam istirahat. Anak-anak berbaris rapi di halaman sekolah. Tumpeng dan cinderamata sudah siap. Guru-guru berderet di depan teras ruang guru. Sementara Pa Haji Rosyidi duduk santai di depan meja kerjanya di ruag Guru. Ia mengira kami akan melakukan razia  pada anak-anak. Beliau kaget dan baru sadar saat Pa Wasit meminta beliau untuk ikut keluar dan begrabung dengan kami di teras depan sekolah.
Sepatah-dua patah kata disamapaikan perwakilan siswa oleh Ananda Muhamad Arief Purnomo, dilanjutkan dengan samputan dari Ibu Kepala Sekolah  Ibu Dian Sukmawati, S.Pd, M.Si dan rekan Guru Senior yaitu Bapak Edi Supratikno, S.Pd. Lantunan puisi nan indah dan syahdu dibacakan oleh Ananda Widia khusus untuk Pa Haji Rosyidi.
Pengalungan kain Batik serta penyerahan bingkisan kenang-kenangan dari seluruh siswa  diwakili oleh Ananda Fany Dwi Puspa,. Dengan penuh haru Pa Haji Rosyidi menerima semuanya  sambil menitikkan air mata. Genap 36 tahun beliau mengemban tugas sebagai guru di SMPN 1 Lohbener dengan penuh dedikasi. Sungguh sosok yang patut kita contoh oleh kami para juniornya dalam mengemban tugas negara.
Pemotongan dan penyerahan tumpeng oleh Ibu Kepala Sekolah kepada beliau sebagai tanda syukur melengkapi prosesi pelepasan ini. Selanjutnya kami rekan-rekan guru dan staf Tata Usaha menyalami Pa Haji Rosyidi sebagai ucapan selamat atas purna tugasnya diikuti oleh para siswa sambil menyanyikan lagu trima kasihku. Terlihat Pa Haji Rosyidi kembali meneteskan air mata haru. Aku segera menyodorkan sehelai tissue padanya sambil sedikit terisak pula, terbawa suasana haru.
Prosesi terakhir sebelum makan tumpeng adalah potret bersama. Salah astu bagian penting dalam pendokumentasian kegiatan sekolah.
***
Usut punya usut, ternyata Kemarin Pa Rosyidi itu bingung memilih motif batik yang akan beliau beli untuk istri , anak dan dirinya sendiri. Maka beliau mengandalkan selera kami ibu-ibu yang biasa belanja batik. Beliau yakin benar bahwa Batik yang kami pilih pasti batik yang bagus karena selera kami memang OK. Makanya, ketika kami menentukan sebuah motif maka itulah pilihannya juga. Hmmmm cerdasnya Pa haji Rosyidi. Hebatnya Ibu-ibu Saloh.

Lohbener,  Rabu 31 Juli 2019/ 28 Dzulqoidah 1440H





Senin, 25 Februari 2019

FROM LONDON TO GERMANY (KELUARGA BACKPACKERAN BAGIAN KEENAM)


6. From London to Germany

               Tetes air hujan menimpa kaca jendela Megabus disamping kursiku, mengalir membentuk jalur yang terus bergerak kebawah berkelok-kelok. Dini hari Jumat 30 Juni 2017 dalam perjalanan menuju London, sambil senyam-senyum mengenang perjalanan seharian kemarin di Manchester, melalui jendela bus, aku menatap jalanan yang sepi, rumah-rumah, kebun dan pepohonoan. Tiba-tiba tabletku bergetar, alarm tanda waktu sholat subuh. Kulihat disampingku, Daeng terlelap nyenyak. Kusenggol dengan sikut kiriku.

                “waktunya, sholat subuh,” bisiku pelan namun mampu menyadarkan Daeng dari lelap tidurnya.
                “huaa….,” Daeng menguap dan beranjak menuju toilet di kabin bawah.
Kuraba dinding Bus dibawah jendela dengan  dua telapak tanganku, meniupnya dan mengusapkannya kewajahku, lalu kuusap kedua telapakntanganku hingga pergelangan secara bergantian. Kurapikan pakaianku meyakinkan tidak ada aurat yang terbuka, lalu sholat 2 rakaat dengan niat sholat subuh. Tidak lama berselang, Daeng tiba di jok sampingku, ia melakukan hal yang sama denganku. Selesai sholat aku membangunkan mbak Erna dan Novi yang duduk di jok depan kami. Merekapun melakukan hal sama dengan kami. Berhubung persediaan air sangat terbatas maka tayamum menjadi pilihan kami.

                Kurang lebih 5 jam di perjalanan, akhirnya kami tiba di stasiun bus Victoria, London. Suasana sangat sepi, karena hari masih sangat pagi. Dingin dan lapar menerpa diri kami. Satu-satunya Café yang buka 24 ja hanya Star Buck, penuh oleh pengunjung yang mencari kehangatan. Kopi menjadi menu utama yang mereka serbu. Mba Erna memesan 4 cup coklat panas dan 4 buah roti croissant. Kami menghabiskan sarapan di Star Buck sambil menunggu hari agak siang. Beberapa puluh menit berlalu, kamipun beranjak dari staiun bus menuju stasiun bawha tanah, Victoria Underground station, dengan berjalan kaki menyususri jalan Buckingham palace Road. Suasana sudah mulai ramai, bus- bus tingkat merah, double decker, sudah berlalu lalang di jalanan. Kami menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang double-decker merah khas London.


                Destinasi kami hari ini adalah Wisma Nusantara di Bishop Grove N2, untuk menemui mas Aan, teman kami yang saat itu sedang di London juga untuk mengajar angklung kepada ibu- ibu istri pegawai yang bertugas di London. Mas Aan adalah teman kami di UPI dulu saat aktif bermain angklung di KABUMI UPI, yaitu kegiatan mahasiswa yang bergerak dibidang kesenian. Mbak Erna sudah mengkonfirmasikan kedatangan kami kepada mas Aan. Tapi ternyata mas Aan sendiri tidak tinggal di Wisma Nusantara, tapi di wisma mahasiswa Indonesia kalo tidak salah. Dan saat itu mas Aan juga dalam perjalanan menuju tempat yang sama yaitu  Wisma Nusantara.

                Dari stasiun bawah tanah kami ambil tube dengan platform 3 menuju Euston Underground station dengan melewati 5 pemberhentian. Dari Euston kami ganti dengan platform 1 menuju East Finchley Underground station dengan melewati 8 pemberhentian. Dari sini kami harus jalan kaki lagi unutk menuju Bishop Avenue. Kami sempat menanyakan arah menuju ke Bishop Evenue kepada seorag pria yang berpapasan dengan kami di pintu keluar stasiun. Lalu kami mengikuti petunjuknya.  Dari depan satsiun kami menyususri jalan Great North Road. Banyak rumah-rumah yang berpagarkan tanaman hijau di sepanjang jalan yang kami lalui. Seperti biasa penasaran belum menjumpai jalan yang dimaksud, kami bertanya lagi pada seseorang yang kami temui di jalan. Prinsip kami tetap sama, malu bertanya sesat di jalan, walau kadang banyak bertanya malu-maluin di jalan.

Taxi London (Dok Pribadi)
                Tiba di perempatan jalan, bingo! Kami menemukan jalan Bishop Avenue, kata mas Aan, kalau sudah ketemu jalan Bishop Avenue, lurus saja nanti beloknya di Bishop Grove N2. Lalu kamipun menyusuri jalan Bishop Avenue yang masih sepi, kiri-kanan jalan nampak rumah-rumah besar dengan halaman luas dikelilingi pagar yang rapat, dilengkapi dengan kamera CCTV. Sepertinya rumah-rumah orang penting atau orang-orang kaya, mungkin. Tibalah kami diperempatan jalan yang kami kira ada tulisan Bishop Grove –nya, ternyata bukan. Kami berjalan kembali menyusuri perumahan mewah nan luas hingga kami menemukan perempatan jalan yang lebih lebar dengan dua jallur. Ternyata itu jalan Aylmer Road. Kami menyebarang jalan setelah memencet tombol di samping traffic light agar kendaaran yag lewat memberi kesempatan kepada kami untuk menyebrang jalan. Setelah menyususri kembali Bishop Avenue, akhirnya kami menemukan Bishop Grove N2 di sebelah kiri jalan. Tak ayal lagi kamipun menyebrang menuju jalan tersebut. Begitu masuk jalan Bishop Grove N2 kami menemukan sebuah mobil taxi London berwarna hitam yang unik dan keren. Tentu saja kami menyempatkan diri berfoto dengan mobil itu. Mumpung masih di London.


                Jalanan aspal  yang kami lalui agak sedikit menanjak, kiri kananya terdapat pagar tanaman yang tinggi dan rapat. Di ujung jalan tampak gerbang pintu dari bata merah dengan pagar dari besi berwarna hitam. Disisi kiri gerbang terdapat lambang negara Indonesia Burung Garuda berwarna emas. Dibawahnya terdapat tulisan “EMBASSY OF THE REPUBLIC INDONESIA. Wisma NUSANTARA. Tiba disini kami agak bingung bagaimana kami bisa masuk ke dalam. Suasana sangat sepi mungkin terlalu pagi kami datang. Akhirnya kami menemukan tombol bel dan memijitnya. Untuk beberapa saat tidak ada reaksi dari dalam. Kami masih bengong di depan gerbang persis orang hilang. Seorang pria setengah baya dengan perawakann kekar berkaos hitam keluar dari samping bangunan utama. Ia melangkah mendekati, dengan tatapan agak mencurigai. Mungkin dia berfikir ini ada orang pengungsi dari Indonesia yang nyasar dan mau minta perlindungan.


                Setelah kami menjelaskan bahwa kami adalah teman mas Aan dan tujuan kami untuk bertemu mas Aan di tempat ini sesuai kesepakatan dengan mas Aan sebelumnya. Akhirnya pria tadi membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Bangunan Wisma Nusantara bentuknya sederhana berdinding bata merah. Teras depan Pintu masuk berpilar putih begitupun kusen pintu dicat putih. Di kiri-kanan terdapat jendela berbingkai putih. Di atas pintu terpampang Burung Garuda Emas. Sebelum ruangan utama kami melewati ruang tamu kecil. Disana terdapat meja kerja dari kayu jati berhias ukiran jepara beralaskan kaca. Tangga melingkar ke lantai atas di sebelah kiri dan kanan ruangan. Patung-patung dan hiasan-hiasan khas Nusantara menambah indah ruangan. Di ruang utama kami dipersilahkan duduk di kursi yang menhelilingi meja panjang. Tidak lama kemudian muncul seorang wanita, dari cara bicaranya kemungkinan dia keturunan jawa. Wanita itu membawakan kami beberapan cangkir teh manis hangat dan penganan dalam piring. Ia meletakkannya di atas meja besar dan mempersilahkan kami untuk meminumnya. Ternyata ia adalah kepala rumah tangga di wisma ini. kami menceritakan asal dan awal perjalanan kami hingga tiba di wisma ini. wanita itupun menyambutnya denagn ramah.


                Disebelah kiri ruang utama terdapat ruang untuk berlatih angklung lengkap dengan peralata angklung, akompanye, perkusi, Bas dan partiture. Selang beberapa menit akhirnya mas Aan datang. Senang sekali kami bisa berjumpa dengan teman setanah air di negeri orang, bahkan saya pribadi jarag bertemu dengan mas Aan sendiri di tanah airpun, karena saya tinggal di Indramayu sementara mas Aan walau asli orang Cirebon tapi beliau tinggal di Bandung. Kemudian mulailah berdatangan ibu- ibu yang akan berlatih angklung bersama mas Aan. Ternyata salah satu dari ibu- ibu itu adalah istri dari pejabat atase kebudayaan yaitu istri dari professor  Aminudin Aziz yang juga Dosen saya sewaktu saya kuliah di IKIP Bandung. Kami ngobrol sebentar dan segera pamit karena ibu-ibu itu akan segera berlatih dan kamipun harus segera pergi menuju destinasi selanjutnya yaitu masjid central London serta menjemput ibu di Plaistow.


                Dari wisma Nusantara kami kembali berjalan kaki hingga jalan besar yang kami sebrangi tadi yaitu Aylmer Road. Ibu Aminudin tadi sempat memberi saran kepada kami untuk mengambil moda bus no 102 dengan tujuan akhir Golders Green di halte sebelah kiri jalan, jadi kami tidak perlu menyebrang jalan. Tak lama kemudian bis yang kami tunggu datang. Satu persatu dari kami menaiki bus dengan menempelkan kartu oyster sebangai alat pembayaran non  tunai. Namun saat kartu oysterku ditempelkan ke kotak sensor, mesin sensornya  tidak mersepon. Ternyata pulsa di kartuku sudah habis. Lalu aku pakai kartu milik ibu yang kebetulan ditiipkan ibu kepadaku hari sebelumnya, dan ternyata sama tidak merespon. Kami jadi bingung, sementara disekitar sini tidak ada kedai penjual pulsa. Lalu driver menyarankan untuk menggunakan kartu debet atau kartu kredit. Namun saat digesek sensorpun tetap tidak merspon. Jadi bagaimana nih? Dalam kebimbangan itu sang draiver akhirnya mempersilahkan aku naik dengan free charge. Driver yang baik hati. Mungkin ia merasa kasian kepadaku.


                “Thank you so much, sir.” Ucapku dengan senyum semanis mungkin. Dia hanya menggut-manggut dan mejalankan bus setelah pintu tertutup rapat. Dengan perasaan lega kami duduk di dalam bus. Untuk dapat melanjutkan perjalanan kami  harus mengisi pulsa kartu pyster kami. Maka sepanjang jalan dalam bus kami mengamati jika ada toko yang menjual pulsa oyster. Setelah kami melewati beberapa halte kami sempat melihat ada toko yang menjual pulsa oyster. Maka kamipun segera turun di halte berikutnya. Kemudian berjalan kaki ke toko yang tadi kami sempat lihat saat berada dalam bus. Tokonya tidak terlalu besar, menjual makanan kecil, miunuman, pernak-pernik assesoris dan souvenir. Kami mengisi semua kartu dengan pulsa yang diperkirakan cukup untuk perjalana kami selama di london seharian ini. beruntung kartu debet mba Erna bisa dipergunakan untuk membayar belanjaan kami. Kami naik bus jurusan yang sama dengan sebelumnya dan turun di Addison way stop C. lalau berganti bus no. 13 jurusan Victoria. Kebetulan bus double decker yang kami tumpangi tidak terlalu banyak penumpang, jadi kami bebas memilih kursi yang kami sukai. Kami memilih kursi di deck atas /lantai kedua. Di stop P yaitu London central mosque kami turun dan berjlan kaki sekitar 200 meter menuju masjid.

                Saat itu hari jumat menjelang waktu dhuhur, jadi sudah banyak orang-orang yang berkerumun di depan masjid. Kami mencari kantin masjid untuk membeli makanan sambil menunggu Daeng sholat Jum’at nanti. Ternyata di kantin masjid itu dijual timur tengah dan makanan turki jadi kami memesan nasi briyani 3 porsi. Jus jeruk kemasan 4 buah dan sosis beberapa potong. Daeng segera menuju masjid untuk mengikuti sholat jumat karena adzan sudah berkumandang. Sementara kami bertiga menunggu di kantin sambil makan siang. Sementara mbak Erna setelah makan beberapa sendok nasi dan sosis segera keluar  untuk melanjutkan perjalanan menjemput ibu di plaistow karena Ema yang dititipi ibu harus meninggalkan rumah karena ada keperluan di luar rumah. Maka, aku dan novi menunggu di kantin masjid.

                Ternyata porsi nasi yag kami beli sangat banyak. Untung tadi kami hanya memesan 3 porsi saja. itupun masih tersisa banyak. Setelah sholat jumat usai dan Daeng tiba kembali di kantin untuk makan siang, kini giliran Aku dan novi untuk menunaikan sholat dhuhur dijama dengan ashar. Kami naik terlebih dahulu ke lantai atas, karena kantin terletak di lantai dasar bagian mesjid, lalu urun lagi ke lantai dasar untuk mengambil wudhu. Di lantai dasar sudah banyak ibu-ibu, kebanyakan orang-orang turki. Kami mengantri untuk ke toilet dan tempat wudhu. Tidak seperti di toilet umum lainnya, di sisni kami bisa menemukan gayung dan ember kecil untuk bersih-bersih. Setelah bersih-bersih di toilet kami berwudhu di kran air yang berjejer di ruang tempat wudhu.

                Saat antri berwudhu aku berpapasan dengan seorang ibu dengan anak perempuannya , orang Indonesia. Kami saling menyapa dan menayakan asal. Ternyata ibu dan anak gadisnya tadi orang Cirebon, ya tetanggalah dengan Indramayau. Senang rasanya bertemu saudara sekampung di negeri orang. Mereka datang bertiga dengan suaminya. Dan baru beberapa hari berada di London. Dilantai dasar itu ada ruangan khusus untuk sholat wanita, jadi kami tidak sholat di ruang utama masjid sebagaimana para pria biasa sholat.  Selesai sholat kami kembali ke kantin mengambil barang-barang bawaan yang tadi ditinggal disana bersama Daeng yang sedang makan siang.

                Dari depan masjid di Alpha Close (stop A) kami naik bus no. 13 Jurusan Victoria. Setelah melewati 6 pemberhentian kamit turun di Marble Arch Station Park Lane (Stop R). Lalu kami berjalan kaki beberapa meter menuju Underground station untuk menggunakan tube central merah dan turun di stasiun Queensway. Dari Queensway kami jalan kaki kearah utara lalu belok kanan ke jalan inverness menuju hostel tempat kami menitipkan koper-koper kami dua hari yang lalu sebelum berangkat ke Manchester. 

                Koper-koper sudah siap kami turunkan dari gudang penyimpanan. Sekarang kami tinggal menunggu mba Erna yang sedang menjemput ibu di rumah Ema di Plaistow. Kami menunggu di lobi hostel sambil mencas telepon genggam dan tablet. Sesekali membaca koran dan majalah yang tersedia di meja tamu. Sekitar satu jam kemudian, mbak Erna datang. Ia datang sendiri saja. Ternyata ibu sudah menunggu di stasiun bus Victoria. Kata mba Erna kasihan kalau ibu ikut bolak balik, toh tujuannya adalah stasiun Victoria. Nati kita ketemu di sana dengan beliau. Kamipun pamit kepada si mba bule yang menjaga meja resepsionis. Kali ini kami naik bus jurusan Victoria jadi tidak ke stasiun bawah tanah lagi. Kami menunggu bus di jalan Bayswater road.

                Alhamdulillah kartu oyster kami tidak ada masalah lagi karena sudah diisi ulang tadi sewaktu perjalanan menuju masjid. Bus melaju dengan kecepatan stabil meskioun jalanan lenggang. Kalu di jalur pantura pasti sudah ngebut sekebut-kebutnya. Kami melewati marble arch, semacam gerbang kerajaan yang megah dengan ornamennya yang indah. Tampak banyak wisatawan yang sedang berkunjung disana. Lalu kami melewati jalan Park Lane lurus terus hingga  melingkari wellington Arch dan masuk ke jalan Grosvenor PL.  Seharusnya kami turun di  wilton street (stop S) tapi karena kurang paham jadi kami malah terus saja sampai di Westminster Cathedral (Stop M). dari sisni  kami harus jalan kaki lebih jauh sambil memngeret koper dan barang bawaan lainnya. Entah cara aku yang salah saat menarik koper atau memang kopernya sudah kelelahan, salah satu roda koperku patah, jadi aku tidak bisa menggeret koperku, tapi harus diangkat. Sudah jalan kaki, harus nengangkat koper , berat pula. Disinilah kesabaran kami diuji. Alhamdulillah dengan perlahan dan pasti kami menyususri jalanan dari Westminster Chatedral melewati  Victoria street, lalu Buckingham Place Road hingga perempatan jalan Elizabeth mungkin ada satu kilometer lebih dan sampailah di depan stasiun bus Victoria ( Victoria Coach Station).

                Bergegas kami memasuki stasiun langsung mencari ibu yang sudah menunggu di lobi stasiun. Nampak ibu sedang duduk di bangku panjang sambil memeluk tas tentengan. Senang rasanya bertemu ibu lagi, setelah hampir dua hari tidak bersama-sama. Saat hendak masuk ke lobi stasiun, kami tanpa sengaja melihat seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam buang air kecil menghadap tembok stasiun, menjijikan. Ternyata di negara maju seperti ini ada juga orang yang berpriilaku jorok seperti itu. Kata mba Erna mungkin dia tidak puanya uang untuk membayar toilet umum. Untuk menggunakan toilet umum kita harus membayar 35 pence (1 poundsterling = 100 pence), kalau tidak ada 35 pence pintu masuk toilet tidak akan terbuka. Kalau di rupiahkan sekitar 6 ribu rupiah. Setelah duduk-duduk dan berbincang-bincang bersama ibu, kami beranjak menuju bagian dalam stasiun.

                Kali ini bus yang akan kami tumpamgi adalah Flix Bus dengan tujuan Weinheim Jerman. Saat kami tiba di stasiun tadi, waktu masih pukul 18. Jadi kami harus menunggu sekitar 3 jam setengah karena bus akan berangkat pukul 21.30. Akhirnya kami menunggu di lorong yang ada bangku-bangku panjangnya. Kulihat beberpa orang tengah duduk di bangku dengan koper dan tas jinjing di sekitarnya. Mungkin mereka juga sedang menunggu kedatangan bus. Rasa kantuk tak tertahankan, setelah kemarin seharian di Manchester serta perjalanan tadi pagi hingga siang ini yang melelahkan. Akhirnya aku tertidur di bangku disamping Daeng yang tetap terjaga mengawasi barag bawaan kami. Sementara disebrang sana ibu dan Novi serta Mba Erna juga duduk dibangku panjang sambil beristirahat meski tidak tertidur.

                Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mata kulihat banyak orang berlalu lalang di depan kami, nampaknya penumpang yang hendak naik bus yag jadwalnya sudah dekat. Mereka segera memasuki ruang tunggu penumpang. Bermacam ragam gaya dari mereka yang sempat kami amati. Mulai dari yang berpakaian sangat tertutup dngan jaket, mantel, topi, hingga yang setengah terbuka dengan celana pendek dannteng top. Yang unik adalah seorang nenek mungkin seusia ibuku 70 tahunan, berjalan sendiri menggeret koper dan membawa tas jinjing. Gerakannya masih lincah, ringan sepertinya tidak ada beban. Dia berjalan sendiri tak ada yang menemani tapi tetap percaya diri. Nenek mandiri.


Selang beberapa waktu kami beringsut menuju ruang tunggu penumpang. Banya sekali orang yang antri di ruang itu. Beruntung kami masih mendapatkan bangku untuk duduk. Pada layar televisi tampak jadwal keberangkatan bus dengan nomor registrasi serta tempat tujuan.  Dari mikrofon terdengar nomor keberangkatan bus kami sudah disebutkan. Kami segera menuju pintu keberangkatan. Menunjukkan tiket dan passport kepada petugas lalu menaiki bus dan memilih tenpat duduk yang nyaman. Seperti biasa kami memilih kursi yang dekat tangga menuju toilet. Ibu dan Novi duduk di depan tangga. Dibelakangya aku dan Daeng. Sementara mba Erna duduk di sebrang tempat duduk ibu dan Novi. Pukul 21.30 Flix bus pun melaju meninggalkan kota London. Selamat tinggal London yang penuh kenangan. Entah kapan kami akan mengunjungimu kembali. Just wait and see. Who Knows?

Perjalanan menuju Jerman  dimulai. Bismillāhi tawakkaltu ‘ala Allāh wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāhi ‘l-’aliyyi ‘l-’aẓhīm. Perjalanan malam selalu kami manfaatkan untuk beristirahat. Akupun segera tertidur dengan nyenyaknya. Kecepatan kendaraan yang stabil serta temspat duduk yang nyaman membuat istirahat kami tidak banyak terganggu. Setelah beberapa watu dalam perjalanan, bus berhenti di perbatasan Perancis, semua penumpang harus turun dan menununjukkan passpornya masing-masing kepada petugas perbatasan. Ada dua orang berseragam tentara lengkap dengan senjata api di tangan mereka. Serta seorang petugas yang memerikda passport dan membubuhi stempel di passport kami. Lalu kami kembali ke dalam bus untuk melanjutkan perjalanan. Buspun melaju kembali melanjutkn perjalanannya.

Tidak lama kemudian kami tiba di pelabuhan Dover, bus kami naik ke kapal ferry bertuliskan  P&O. seluruh penumpang kembali diminta untuk turun dari bus dan naik ke dek penumpang di deck atas. Tadinya ibu tidak akan turun dan hendak diam di dalam bus saja, tapi kami dilarang berada dalam bus karena bus akan dikunci dan tidak diperkenankan ada orang dalam bus. Akhirnya ibupun ikut naik ke deck atas. Kami naik melalui lift tidak menggunakan tangga manual karena ibu sudah tidak kuat naik turun tangga. Perlahan ferry menyebrangi selat Dover menuju pelabuhan Calais dengan kecepatan 33km dalam waktu 90 menit. Dalam ferry penumpang bisa menikmati banyak fasilitas. Ada café yang menyediakan aneka makanan dan minuman, took yang menawarkan barang-barang bermerk terkenal dengan harga hemat, tempat bermain untuk anak-anak dan fasilitas lainnya. Namun rasa kantuk kami belum usai, maka di atas deck kapal kami pun tertidur. Kami tidak sempat melihat-lihat pemandangan saat kami menyebrang selat, selain gelap malam, rasa kantuk lebih kuat menerpa kami. Padahal jika siang hari kita bisa menikmati pemandangan karang terjal putih di tepi pantai yang indah.

Sekitar satu jam setengah diatas ferry, akhirnya kami tiba di pelabuhan Calais. Semua penumpang kembali ke dalam bus nya masing-masing. Perjalananpun kembali dilanjutkan. Bus kembali melaju dengan kecepatan stabil membuat kami merasa nyaman untuk terlelap kembali. Sementara gerimis terus menemani perjalanan kami. Di beberapa tempat pemberhentian bus menurunkan penumpang satu dua orang. Ada pula penumpang yang naik di tempat-tempat tertentu. Keesokan paginya tepat hari sabtu tanggal 1 Juli 2017 sekitar pukul 8.20 kami tiba di satsiun bus di Brussels north Station, Belgia. Kami harus turun disini untuk ganti dengan bus yang akan membawa kami ke Weinheim Jerman. Bis selanjutnya masih dari perusahaan yang sama yaitu Flix bus, akan berangkat dari Brussels pukul 10. 20. Jadi kami memiliki aktu sekitar 2 jam untuk menunggu bus berikutnya. Gerimis masih terus menyertai kami. Kami terpaksa berteduh di halte bus.


Mba Erna meminta payung kecil untuk digunakannya pergi ke mall yang ada di samping stasiun. Beberapa menit kemudian mba Erna datang membawa roti croissant untuk sarapan. Karena masih pagi jadi took-toko di mall masih tutup. Beruntung ada toko roti yang sudah buka. Sambil menunggu bus, kami sarapan roti croissant di halte bus. Beberpa orang sempat datang dan pergi di halte itu. Mereka para penumpang Bus dalam kota. Seorang wanita berhijab memberi slam kepada kami. Kami segera membalasnya. Dari tipe wajahnya ia spertinya orang Turki. Gerimis masih terus menyirami bumi. Tibalah pukul 10.20, flixbus yang kami tunggu datang, tepat waktu. Tidak kurang tidak lebih. Kami segera menaiki bus diiringi rintik hujan gerimis. Perjalanapun berlanjut. Kali ini lenih banyak melalaui jalan bebas hambatan tapi tidak berbayar alias gratis.  Di tengah perjalanan bus singgah di rest area. Kesempata ini digunakan oleh penumpang untuk ke toilet dan membeli penganan serta minuman.

Perjalanan selanjutnya aku nikmati dengan melihat pemandangan sepanjang jalan. Kota-kota yang dilewati jalananya tidak terlalu besar, tapi rapih dan bersih. Jalannya kebanyakan terbuat dari susunan batu-batu yang rapi, bukan aspal. Aspal ditemukan bila kita sudah masuk ke jalan bebas hambatan. Hujan masih saja menamani perjalanan kami. Hingga akhirnya kami tiba di Weinheim sekiar pukul 18.00. Dari jendela bus aku melihat adikku Ening sudah menunggu kami di stasiun Weinheim. Alhamdulillah.

Setelah bus masuk ke stasiun dan parkir di tempat menurunkan penumpang, kami segera turun dan mengambil bagasi kami masing-masing. Adikku Ening segera mnghampiri kami, memeluk kami satu persatu. Karena mobil yang Ening bawa jenisnya sedan, maka kami tidka bisa masuk semua, apalagi koper-koper kami kan banyak dan besar. Akhirnya dipespakati aku, daeng dan ibu serta beberapa koper besar naik mobil Ening. Sementara Mba Erna dan Novi dengan tas –tas kecil yang ringan naik kereta api. Dan berangkatlah kami menuju apartement tempat tinggal Ening di Manheim, sekitar satu jam dari Weinheim.

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa berkumpul bersama, kulihat ibu menitikkan air mata tanda bahagia berkumpul dengan anak-anak tercintanya. Kami melepas rindu dengan berbincag-bincang menceritakan perjalana kami milai dari rumah hingga di Weinheim tadi. Sambil membongkar koper-koper kami untuk mengambil baju ganti. Bergantian kami membersihkan diri. Sholat maghrib dan Isya. Lalu menyantap makan malam yang sudah disediakan oleh Ening dan selanjutnya lagi karena hari suadh larut malam. Esok kita akan memulai tour di sekitar Jerman. Entah akan dibawa kemana kami oleh Ening.

Sampai jumpa esok hari.
  

Minggu, 17 Februari 2019

LOST IN MANCHESTER (KELUARGA BACKPACKERAN BAGIAN KELIMA)


5. LOST IN MANCHESTER

Old Trafford Stadium in Manchester (dok. pribadi)

Kamis, 29 Juni 2017 pagi-pagi sekali saat orang –orang masih terlelap di balik selimut, kami sudah selesai mandi, Sholat Subuh bahkan merapikan tempat tidur serta mengemas koper dan barang bawaan lainnya. Aku dan Daeng seperti biasa sudah menyelesaikan semuanya lebih dulu. Sementara mbak Erna masih mengepak koper yang akan kami titipkan di Hostel selama kami berada di Machester. Rasa penasaran untuk melihat-lihat sekitar lingkungan Bayswater membuat kami segera turun. Sambil menunggu waktu sarapan, kami berdua sengaja keluar hostel terlebih dahulu menuju Bayswater road. Novi segra menyususl karena ia juga ingin ikut menyambangi kawasan Bayswater.

Disebelah selatan Bayswater Road terdapat dua buah  taman yang luas yaitu Kensington Garden di sebelah barat dan Hyde Park  disebelah timurnya. Taman yang terdekat dari hostel kami adalah Kensington Garden. Untuk mencapai Kensington Garden,  dari hostel kami cukup berjalan kaki saja. Dari depan hostel di jalan Inverness Terrace kami mengambil arah ke kiri yaitu menuju selatan hinggga Bayswater Road.  Setelah tiba di Bayswater Road kami menyebrang jalan dan langsung menemukan  pintu kecil menuju taman. Tidak terlalu banyak orang yang kami temui disana mungkin karena hari masih pagi. Hanya  beberapa orang yang sedang bersepeda, ada pula yang berjalan sambil menuntun anjing peliharaan mereka.  

Dari pintu masuk tadi kami mneyusuri jalan setapak yang membentang lurus dan panjang. Berbagai jenis pepohonan berjejer rapi sepanjang jalan setapak yang kami lalui. Beberapa ekor tupai malu-malu menyembulkan kepalanya dibalik pepohonan, lalu cepat bersembunyi lagi saat berpapasan dengan kami, sungguh menggemaskan. Ingin rasanya mengejar dan menangkap mereka. Burung-burung tidak kalah menariknya, memamerkan kepakan sayap dan cuitan merdunya saat kami melewati mereka di sekitar pepohonan yang hijau dan  rindang. Kutarik nafas dalam - dalam. Udara segar terasa menyusup kedalam kalbu membuat dada terasa lega dan nyaman. Setelah beberapa ratus meter menyusuri jalan setapak tadi, kami menjumpai persimpangan jalan. Kami mengambil jalan yang mengarah ke kanan  yaitu ke sebelah barat. Taman ini benar-benar terawat, tidak ada sampah yang tercecer bahkan tempat sampah untuk kotoran binatangpun disediakan secara khusus terpisah dengan sampah umum.

Sebuah kolam menyerupai danau kecil berbentuk lingkaran tampak didepan kami. Kolam ini dikenal dengan nama The Round Pond sesuai bentuknya bundar.  Nampak burung - burung sedang mematuk-matuk biji-bijian pinggiran kolam. Celotehan mereka terdengar nyaring seolah –olah sedang saling menyapa diantara mereka. Angsa-angsa putih dan bebek-bebek liar berenag-renang di dsisi kolam. Sebuah bangku kayu tersedia di depan kolam memberikan tempat duduk kepada pengunjung yang ingin meninkmati keindahan The Round Pond dan sekitarnya. Di sekililing kolam terdapat trek berpasir untuk jogging. Kulihat ada dua orang pria sedang berlari kecil mengitarinya. Seorang wanita setengah baya tengah meregangkan otot-otot tangan dan kakinya di samping bangku kayu depan kolam.  
Tergoda juga kami untuk singgah dan duduk sejenak di bangku taman itu sambil menikmati pemandangan The Round Pond dengan bebek, angsa dan burung-burungnya. Brurung-burung berkejaran seolah bercanda sambil berebut biji-bijian yanag mereka temukan. Pemandangan yang lucu dan menyenangkan. Penasaran mencoba berjalan mengelilingi danau mengikuti trek yang ada membuat kami sedikit berkeringat. Aku dan Daeng duduk kembali di bangku taman, sementara Novi asyik mengambil gambar dan video aktifitas burung, bebek dan angsa disana. 

Kensington Garden (Dok. Pribadi)
Setelah puas menikmati kolam dan pemandangan sekitarnya, kami menyusuri jalan setapak kembali arah kanan atau menuju ke arah barat. Beberapa meter kemudian kami tiba di jalanan beraspal. Di seberang jalan tanpak sebuah bangunan serupa istana yang dikelilingi pagar yang tidak terlalu tinggi dengan taman yang indah. Bagian depan halamannya terdapat kolam dengan patung Ratu Victoria bercat putih ditengahnya.  Ternyata itu adalah Kensington Palace. Istana ini merupakan kediaman kerajaan di Kensington Garden di borough Kerajaan Kensington dan Chelsea, London, Inggris. Bangunan itu telah berfungsi sebagai kediaman bagi keluarga kerajaan Britania Raya sejak abad ke-17 dan kini menjadi kediaman resmi bagi Pangeran William dan istrinya (Duke dan Dutches of Cambridge)  serta anak-anaknya, Pangeran Harry, Pangeran Richard dan lain-lain. (Sumber: Wikipedia).

Kensington Palace(Dok. Pribadi)

Sejenak kami menikmati keindahan Istana, untuk selanjutnya kembali ke hostel. Dengan mengikuti jalan beraspal yang dikenal dengan Broad Walk yang menuju ke arah utara, kami tiba di tempat arena bermain anak-anak semacam pasar malam atau sirkus. Namun, karena hari masih terhitung pagi, semua arena permainan masih tutup. Tidak jauh dari tempat bermain tadi, tampak berjejer sepeda sewaan. Kami mengamati beberapa sepeda yang terkunci. Jika hendak menggunakannya kita tinggal memasukan koin untuk membuka kuncinya.  Setela puas mengamati sepeda, kami akhirnya meninggalkan taman melalui pintu yang tidak jauh dari tempat sepeda tadi. Pintu itu mengarah ke Bayswater Road sebelah timur. Jadi untuk kembali ke hostel kami harus mengambil arah ke kiri atau ke arah barat.
Setibanya di hostel, kami segera menuju ruang makan di lantai dasar setelah menemui mbak Erna terlebih dahulu tentunya. Selepas sarapan kami menurunkan koper-koper dan barang bawaan ke lobi. Kami segera menuju receptionist untuk melakukan check out dan menitipkan koper-koper kami. Beruntung koper- koper yang ditiipkan tidak dikenakan biaya tambahan. Kami boleh menitipkannya dihostel selama beberapa hari seacara gratis. Setelah memastikan semua koper tersimpan di gudang penitipan barang, kami langsung berangkat berangkat ke stasiun Bayswater untuk mengambil moda kereta bawah tanah (tube) menuju ke Stasiun Victoria.

Bayswater Underground Station (Dok. Pribadi)

Dari Bayswater kami menggunakan jalur Circle Lines menuju Victoria Station. Dengan waktu kurang tempuh lebih 12 menit dan melewati 5 stasiun pemberhentian, kami tiba di Victoria Station. Dari bawah tanah kami menaiki anak tangga menuju jalanan kota. Dari depan Victoria Station, kami berjalan kaki ke arah kiri, tepatnya ke arah selatan menyususri Bukingham Palace Road hingga perempatan jalan lalu mengambil arah ke Elizabeth Street. Maka tibalah kami di depan Victoria Coach Station (Stasiun Bus Victoria).

Mba Erna segera mengeluarkan Megabus booking ticket untuk melakukan check in. Setelah melakukan check in di counter Megabus dan memdapatakan boarding pass, kami langsung menuju ruang tunggu penumpang. Megabus adalah salah satu perusahaan bus yang mendominasi angkutan antar kota bahkan antar negara yang mempunyai base camp di Victoria Coach Station selain perusahaan bus National Express.  Selama kurang lebih 30 menit kami menunggu bus yang kami pesan. Terdengar suara dari mikrofon yang mengumumkan waktu boarding untuk Megabus jurusan Manchester. Kami segera menuju pintu keberangkatan dan menaiki bus sambil memperlihatkan tiket dan buku passport masing-masing kepada kondektur bus. Sekitar pukul 09.30 waktu London, bus yang kami tumapangi meluncur meninggalkan stasiun Victoria menuju Manchester.

Sekitar 4 jam lebih 15 menit waktu yang kami tempuh dari London ke Manchester. Akhirnya kami tiba di Shudehill Interchange Stand G di Manchester. Gedungnya tidak terlalu besar, diadalamnya bisa kita temui counter perusahan bus, café, toilet umum dan ruang tunggu dengan kursi-kursi panjang dari stenless. Menurut mba Erna untuk mencapai Old trifold kita harus naik trem di halte Exchange Square. Sebetulnya di Shudenhill Interchange tadi aku sempat melihat denah gedung dan jalan-jalan sekitarnya. Tapi karena tidak begitu jelas akhirnya ya bingung juga. Yang jelas arah yang harus kami ambil adalah ke sebelah barat. Setelah berunding dan berfoto sejenak dalam gedung Shudehill kamipun beranjak keluar mencarai jalan menuju Exchange Square.

Shudehill Interchange Stand G, Manchester. (Dok. Pribadi)

Seorang pria setengah baya berkulit gelap tapi berpenampilan rapi melintas dekat kami. Tanpa pikir panjang lagi langsung aku menyapanya.
                Excuse me, Sir. Would you mind telling me the way to Exchange Square?
                Hmmm. OK. Follow me!” jawabnya singkat setelah sejenak mengernyitkan dahi. Namapaknya si Mister enggan menunjukkan jalan dengan menerangkan jalurnya kepada kami. Mungkin dia tahu kalau kami rada telmi alias telat mikir. Jadi Ia lebih suka menyuruh kami mengikuti saja. Praktis tak perlu kata-kata. Kamipun setengah berlari mengikuti si Mister yang berjalan dengan cepat menyebrang jalan didepan stasiun lalu belok kiri dan menyusuri jalanan sepi dengan batu-batu bundar seperti bola dengan ukuran besar seperti yang aku jumpai di alun-alun ujungberung karya Ridwan Kamil, menghiasi trotoar jalanan. Lalu kami diajak untuk menyebrang jalan lagi dan masuk ke gedung The Printworks dimana dalam gedung itu terdapat beberapa café dan restorant seperti washabi Sushi, Peachy keens, Waggamma Manchester Printworks, dan Hard Rock Café. Ada juga Bisokop Vue Cinema Manchester and Printworks IMAX. Setelah melewati café-café tersebut tibalah kami di pintu keluar gedung.
                “Over There”, kata si Mister sambil menunjuk ke sebrang jalan. Disana nampak halte trem dengan beberapa trem sedang menaikan dan menurunkan penumpang.
                “Ok. Thank You so much, sir” balasku sambil sedikit membungkuk tanda hormat.
                “You’re welcome. Have a nice trip.”
                “Thank you.”
National Football museum, Manchester
(Dok. Pribadi)
Secepat kilat si Mister yang baik hati itupun menghilang entah kemana arahnya. Cepat sekali dia berjalan. Beruntung kami masih bisa mengikutinya tadi. Kami masih berdiri depan gedung Printwork. Mengamati situasi sekelilingnya. Aku menatap ke arah kanan sebrang jalan ada National Football Museum. Jadi kenapa tidak kita ambil kesempatan untuk mengunjunginya sejenak? Maka segeralah kami menuju ke tempat itu. Tidak butuh waktu lama untuk menuju kesana. Kami hanya menyebrang jalan saja. Tulisan NATIONAL FOOTBALL MUSEUM terpampang jelas di atas gedung dibagian paling atas, dibawahnya beruturt-turut, DRAMA, HISTORY, SKILL, ARTFAITH, STYLE, PASSION DAN FOOTBALL. Dibagian bawah terdaat keterangan Free Entry, Daily Open, Open Monday-Saturday 10 a.m -5 p.m. dan Sunday 11 a.m. – 4 p.m. lalu THIS WAY denga arah panah menunjuk ke pintu masuk.  Sepanjang jalan menuju pintu masuk ada walk of fame dari para pemain sepak bola yang terkenal dunia. Aku menemukan Christiano Ronaldo (Portugal), mba Erna mendapatkan Zinedine Zidane dan Thierry henry (France), Daeng memilih Pele (Brazil).


Tiba di pintu masuk, kami masih sedikit ragu, apakah ini betul-betul free entry? Bismillah, kamipun masuk ke bagian dalam gedung. Di meja resepsionis ada beberapa petugas yang siap melayani para pengunjung. Karena penasaran kami bertatanya kepada petugas di keja resepsionisi, apakah kami harus bayar tiket atau tidak.
                “Should we pay the ticket, miss?” tanyaku ragu.
National Football Museum,
Manchester (Dok. Pribadi)
                “No. it’s free. Please enjoy the gallery” jawabnya dengan senyum manis.
Begitu masuk ke bagian yang lebih dalam kami disuguhi layar besar yang menyajikan cuplikan film kegiatan sepak bola zaman dahulu. Filmnya masih hitam-putih. Di bagian berikutnya terpajang foto-foto para pemain sepakbola dunia dengan jersey mereka masing-masing dalam bingkai yang berbeda. Tidak ketinggalan sepatu-sepatu mereka pun ada dalam bingkai khusus yang dipanjang pula di dinding ruangan. Setelah puas mengelilingi isi museum, kami meninggalkan museum  menuju Exchange Square.

Di exchange Square, kami mulai agak bingung, sedikit sih. Bagaimana cara mendapatkan tiket untuk naik trem menuju Old Trafford. Disini kami tidak menggunakan kartu Oyster, karena kartu itu hanya berlaku untuk alat transportasi di sekitar London saja. Setelah mengamati sekelilingnya, akhirnya kami tahu dimana harus memdapatkan tiket. Mesin yang ada di halte itu menyediakan tiket yang kita butuhkan. Moda transportasi kali ini adalah Manchester Metrolink. Mula-mula agak bingung juga cara mengoperasikan mesin ini. Maklum di kampungku tidak ada mesin tiket seperti ini. Aku hendak bertanya kepada seorang wanita setengah baya yang baru turun dari trem, menurut pepatah malu bertanya sesat di jalan. Tapi tenyata dia terburu-buru untuk naik trem berikutnya. Penasaran, aku dan mba Erna mencoba membaca petunjuk yang ada di mesin satu persatu. Ternyata kita tinggal memilih jenis tiket yang akan kita beli, apakah harian, one day trip, tiket mingguan atau langganan bulanan. Kami memilih one day trip untuk 4 orang. Setelah uang kita masukkan, maka tiketpun keluar dengan sendirinya, disusul uang kembaliannya. Bingo!

Selang beberapa menit datanglah trem jalur 5 yaitu jurusan East Didsbury -  Rochdale Town Cwntre. Setelah melewati tiga stasiun pemberhentian maka tibalah kami di keempat yaitu Trafford Bar. Tempat pemberhentian ini tampak sepi sekali, hanya beberapa orang yang turun di tempat ini. Keluar dari stasiun pemberhentian, kami mulai mencarai jalan menuju Old Trafford Manchester United stadium. Kami tidak bisa membuka aplikasi Google Map karena tidak ada sinyal internet. Maka kamipun mencoba bertanya lagi kepada orang yang ada disekitar situ. Di sekitar stasiun suasananya sepi, hanya ada satu dua orang yang tampak. Tapi jika sedang musim pertandingan pasti penuh oleh para supporter sepak bola. Kebetulan dari arah berlawanan ada dua orang gadis remaja yang tengah berjalan di trotoar. Tentu saja kesempatan ini tidak kami sia-siakan.
“Excuse me. Would you like to show me the way to Manchester Stadium?”
Let me see. Hmmm go straight, then take the left turn. Go straight again until you find the cricket stadium then take the right turn. That the way to the stadium.” Kata mereka sambil menunujuk kearah jalan di depan kami. Aku manggut-manggut saja walau tidak terlalu yakin.
“Ok, thank you very much” jawabku sambil tersenyum.
“You’re welcome.”

Kamipun berjalan terus ke arah jalan yang ditunjukkan oleh kedua gadis tadi, belok kiri sedikit lalu luruuuuuuuus saja. Setelah sampai di stadion kriket  kami harus belok ke kanan, begitu kata mereka tadi. Rasanya sudah jauh berjalan tapi tidak tanda-tanda adanya stadion kriket. Jalanan yang kami lewati sedikit basah sisa-sisa air hujan. Dedaunan di pohonpun terlihat sebagian masih basah. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan tampak sepi penghuni. Ada rasa ngeri juga dalam hati, membayangkan jika berjalan sendirian di tempat ini. Jalanan pun hanya sesekali dilewati kendaraan. Saat kami tiba di pertigaan jalan, karena penasaran dan rasa tidak sabaran, kami bertanya lagi kepada seorang anak laki- laki yang tampak mengenakan seragam sekolah, mungkin ia anak Sekolah menengah.
“Excuse me, do you know the way to Manchester stadium?
“Just go straight.” Katanya sambiul menunjuk ke sebrang jalan. Berarti kami harus menyebrang dan ambil arah kanan di pertigaan itu. Sebetulnya kami sedikit ragu atas jawabannya.
“Ok. Thank you.” kamipun mengikiti petunjuknya. Jalanan yang kami telusuri terasa sedikit menanjak. Sepertinya jalan yang kami lewati semakin mengarah ke kiri atau barah barat.  Setelah berjalan beberapa ratus meter, kami melihat atap sebuah stadion dan kami yakin itu adalah stadion MU yang kami cari. Tapi kami masih ragu dan bingung jalan mana yangnharus kami lalui untuk mencapainya.  Selang beberapa waktu, aku melihat ada plang bertuliskan Manchester stadium dengan tanda panah mengarah ke sebarang jalan. Lalu kami ikuti jalan itu hingga tiba di jalan raya yang lebar tapi lengang, mirip jalan bypass di jalan soekarno Hatta Bandung saat baru dibangun dulu. Di sebrang jalan sebelah kiri kami melihat ada 2 restoran cepat saji yaitu KFC dan Restoran Fish and Chips Harry Ramsdens.
Makan siang di KFC, Manchester (Dok.Pribadi)
Dalam suasana kebingungan ditambah rasa lapar karena belum makan siang, kami sepakat untuk makan terlebih dahulu. Kami meyebrang dan bergegas menuju KFC karena ingin makan ayam goreng, setelah di London kemarin kami makan fish and Chips. Setibanya di restaurant cepat saji itu, kami memesan 4 porsi kentang dan ayam goreng serta sebotol coca cola ukuran 1,5 liter.  Kami menyantap kentang dan ayam goreng dengan saus tomat dan saus sambel yang sengaja kami bekal dari tanah air, karena restoran tidak menyediakan saus apapun seperti halnya di Indonesia.

Selepas makan kami segera membereskan barang bawaan kami, meyakinkan tidak ada barang yang tertinggal. Coca cola yang masih tersisa sebanyak setengah botol kami bawa untuk bekal di perjalanan selanjutnya.  Dari depan restoran kami mengambil arah ke kiri atau timur mengikuti alur jalan raya. Kami terus mengikuti arah kubah stadion yang nampak dari kejauhan bersinar diterpa cahaya matahari. Karena masih penasaran, kami sempat bertanya lagi kepada seorang pria setengah baya. Ia hanya memberitahu agar kami mengikuti jalan ini saja. Kamipun mengikuti jalan sesuai petunjuk pria tadi. Namun jalan yang kami tempuh nampaknya semakin menjauh dari kubah stadion yang kami lihat tadi. Kami tiba di jembatan jalan yang melewati sungai. Namun jalan itu ternyata ditutup. Buntu. Akhirnya kami memutuskan untuk berbalik ke jalan sebelumnya.  Feeling dan logika mengatakan kami harus pergi ke arah barat, karena atap stadion yang kami lihat tadi ada di belakang restoran KFC tadi. Dengan mengucap Bismillah, kami ambil jalan ke arah barat sedikit ke utara. Kami sempat menjumpai jalan yang sedang direnovasi, mungkin ada gangguan dengan gorong-gorong dibawahnya. Lalu menyusuri jalanan yang sepertinya mengarah ke selatan. 

Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di area parkir stadion. Tapi belakangan diketahui bahwa itu tempat parkir umum yaitu North Car Park N2 East, tepat di samping stadion. Beberapa ratus meter dari lahan parkir itu, tibalah kami di depan Manchester United Stadium yang biasa dikenal dengan nama Old Trafford, tepatnya terletak di jalan  Sir Matt Busby Way.

Old Trafford adalah sebuah stadion sepak bola yang berlokasi di Old Trafford, Great Manchester, Inggris, dan merupakan markas klub sepak bola Manchester United. Dengan kapasitas 75.635 kursi. Stadion ini merupaka stadion terbesar ketiga dan stadion sepak bola terbesar  kedua di  Inggris, serta stadion kesebelas terbesar di Eropa. Stadion ini terletak sekitar 0.5 mll 0,5 mil (800) dari lapangan Kriket Old Trafford dan Satsiun trem yang dekat. (sumber ” Wikipedia Indonesia)


Mataku menatap ke bagian atas bangunan yang berdinding kaca bening kebiruan. Kubaca  dua kata yang tertera diatasnya dengan huruf besar berwarna merah” MANCHESTER UNITED”. Takjub dan haru menyelinap di hati. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah Engkau takdirkan aku berada di tempat ini. Dibawah tulisan merah besar tadi tampak patung seorang pria berpakaian jas lengkap sedang memegang bola di tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada di pinggang. Aku piker mungkin itu patung manajer MU atau pelatihnya. Entahlah aku tidak terlalu peduli. Di bagian dasar bangunan sebelah kiri dari arah kami terdapat tulisan “MEGA STORE dan ENTRANCE” sedandkan diujung kanan “MEGA STORE dan EXIT”.
Lantai halaman depan stadion tersusun dari paving blok yang diatur sedemikian rupa membentuk gambar bola yang terdiri dari beberapa segi lima putih dan segi lima merah bata. Sebuah monument dengan tiga patung pemain sepak bola diatasnya bertuliskan “THE UNITED TRINITY, BEST LAW CHARLTON” tegak berdiri di depan pintu gerbang. Sementara didalam pagar depan sebelah kiri dan kanan terdapat bangku-bangku serta meja untuk beristirahat. Dinding-dinding pagar dipenuhi dengan gambar-gambar foto para pemain sepak bola club Manchester United. Di bangku-bangku itu kami istirahat sejenak sambil menghabiskan sisa makanan yang ada di kantong jinjingan merah bermotif bunga sakura dari jepang.

Old Trafford (Dok.Pribadi)
  


Puas berfoto dan mengambil gambar di sekitar halaman depan, selanjutnya kami mengelilingi bangunan hingga bagian belakang yang menghadap ke area parkir. Bagian gedung satdion ini adalah Red Café dan Museum & Tour Centre. Bagian depan sebelah atas terdapat tulisan “SIR ALEX FERGUSEN STAND” lengkap dengan patungnya yang tengah berdiri mengenakan overcoat sambil bersedekap. Saat itu sedang tidak ada jadwal pertandingan maupun latihan jadi tidak terlalu banyak orang, kecuali wisatawan yang berkunjung saja. Kami selanjutnya bergerak ke arah kanan mengelilingi stadion hingga tiba kembali di halaman depan tadi. Kata mba Erna cukup sudah kita berada disini, dan siap melanjutkan ke Etihad Campus.


Dari halaman depan stadion, kami ambil jalan ke arah kanan, atau ke arah selatan. Sepanjang jala kami melewati rumah-rumah penduduk berdinding bata merah yang teratur rapi tanpa halaman dengan pagar tembok setinggi satu meter dari bata merah juga. Udara dingin mulai terasa ditubuh kami. Sambil merasakan udara dingin tadi, kami terus berjalan menyusuri jalanan yang sepi sambil sesekali berhenti dan bersandar pada tembok-embok pagar rumah. Di perempatan jalan kami melihat rumah khas eropa dengan cerobong asap dan jendela-jendela di atapnya. Disebrang rumah tadi tampak sebuah bangunan stadion kriket yang disebutkan dua gadis tadi. Ternyata stadion kriket yang dimaksud dua gadis remaja tadi itu ada disini. Seandainya tadi kami patuh dengan anjuran mereka, tentu kami tidak akan terlalu berputar-putar hingga di tempat tujuan tadi. Tapi itu sudah berlalu, wisatawan Indonesia konon sudah biasa tersesat, kalau tidak tersesat bukan orang Indonesia namanya. Benarkah?
Dari perempatan stadion kriket itu kami belok ke kiri lalu terus berjalan menyususrinya trotoar hingga ke stasiun pemberhentian trem di Trafford Bar kembali. Kami ambil trem dengan jalur Purple Line dan turun di Piccadilly Gardens. Lalu berjalan lagi sedikit hingga Piccadilly Garden Stop (stop D). Disini kami sempat bertanya kepada seorang petugas di tempat pemberhentian tersebut untuk menanyakan trem yang menuju ke Etihad campus. Bapak petugas tadi memberitahukan bahwa trem yang akan mengantar kami ke Etihad Campus adalah  jalur blue line dengan jurusan  Ashton under lyne – Eccles. Tidak lama kemudian trem yang ditunggu sudah dating. Kami bergegas naik. Perjalanan menuju Etihad Campus lumayan panjang, karena harus melewati 9 stasiun pemberhentian. Namun waktu yang ditempuh hanya sekitar 10 menit dan tibalah di stasiun Etihad Campus.

Etihad Campus, Manchester
(Dok.Pribadi)
Dari jalur rel, kami menaiki beberapa anak tangga. Kurang lebih 5 menit kami berjalan kami tiba di area Etihad Campus, atau stadionnya Manchester City. Sesampainya di halaman stadion, kami segera mencari tempat wudhu untuk sholat dhuhur dan ashar. Suasanannya sepi sekali. Seperti tidak ada orang disekitar ini. Kami tidak menemukan tempat yang cocok untuk sholat. Akhirnya kami sholat di antara bangku-bangku yang ada di halaman. Aku dan mbak Erna sholat lebih dulu berjamaah berdua. Sementara daeng masih mencari toilet untuk buang air kecil. Karena bingung tak tahu arah kiblat dari tempat itu akhirnya aku memutuskan sholat menghadap ke depan dari pintu masuk menuju stadion. Setelah kami selesai sholat, giliran  Novi dan Daeng yang sholat berjamaah. Aku dan mabk Erna mencoba mengamati lingkungan sekitarnya. Aku dan mbak Erna kembali ke tempat kami sholat tadi. Kulihat Daeng dan Novi yang sedang sholat berjamaah. Menggelikan juga melihat mereka sholat menghadap kea rah pinti kadatangan tadi. Artinya berlawanan dengan arah aku dan mbak Erna Sholat tadi. Tapi tak mengapa Allah Maha Tahu dan semua arah adalah milik Allah.

Manchester Cenotaph
Monumen(Dok. Pribadi)
Usai sholat kami mengelilingi stadion yang sepi ini hingga memutar kembali ke arah kedatangan kami tadi. Hari sudah semakin sore, kami harus bergegas khawatirakan ketinggalan trem yang terakhir. Anak-anak tangga yang kami turuni tidak terlalu curam namun tetap saja harus hati-hati gerakan menurun rasanya lebih berat karena kaki dan lutut kita menahan bobot badan. Begitu kami tiba di jalur rel, datanglah trem dari arah kanan yaitu jalur blue lines dari Satsiun Ashton-under-Lyne menuju Eccles. Kami langsung melompat ke dalam trem. Kami benar-benar sudah kelelahan dan terkantuk-kantuk. Namun kami harus tetap waspada jangan sampai terlelap agar tidak terbawa terus sampai tujuan akhir trem di Eccles. Empat pemberhentian kami lewati sudah, tibalah di pemberhentian terakhir kami yaitu St. Peter’s square. Bergegas kami turun dari trem untuk selanjutnya menunggu trem lain di jalur green lines jurusan Rochdale Town Centre dan turun di Exchange Square.
St. Peter’s Square adalah sebuah tempat yang sejuk dan rindang  dengan pepohonan, dimana terdapat sebuah monument bersejarah tepat di depan jalur pemberhentian trem. Bangunan monumen itu adalah Manchester Cenotaph. Manchester Cenotaph adalah sebuah peringatan perang dunia pertama yang dirancang oleh Sir EdwinLytyens untuk St. Peter’s Square, Menchester, Inggris. Di lokasi monument tersebut sendiri sudah berdiri lebih dulu bangunan gereja Santo Petrus.

Kerongkonganku rasanya kering, aku mecoba mencari sesuatu yang dapat diminum dari dalam tas selempangku. Aku teringat dengan tas jinjing yang dibawa Daeng, di dalamnya ada dua dus kue Kartika sari dan setengah botol Coca cola. Tapi saat aku menanyakan tentang tas jinjing itu Daeng tidak membawanya. Ternyata  Ia lupa menaruh tas jinjing itu di bawah jok trem saat kami terlelap tadi sekembalinya dari Etihad Campus. Berarti tas itu terbawa oleh trem tadi ke Eccles. Lalu bagaimana?  mungkinkah tas itu bisa kembali lagi ke tangan kami? Dengan rasa kecewa kami duduk di bangku taman dekat monument Cenotaph. Lalu mba Erna menyarankan untuk menghubungi Call center, barangkali operator bisa membantu kami menemukan tas tadi. Lalu mba Erna memberikan telepon genggamnya yang sudah terisi kartu sim lokal.
Aku coba menghubungi nomor yang tertera pada kaca ticketbox di halte. Dari seberang sana terdengar suara wanita.
“Hallo, what can I do for you?”
“Excuse me, mam. “I’m Mardiani. I’m foreigner. I’m from Indonesia.
“Aha, and Then?”
“I left my bag on the tram just now.
“What kind of bag?”
“It is semi-plastic bag. Red in colour and full of flower picture on it.
“What does it contain?
“Come cookies in the paper box and a bottle of Coca cola.”
“ What? Coccain?”
“No, Cookies, cakes, kind of food,”
“Which line the tram was?”
Saat itu aku tidak terlalu paham jalur apa yang aku ambil aku jawab sekenanya saja.
“I don’t know but It was from Etihad Campus.”
“Where is your posision now?”
“I’am at St. Peter’s square.”
“Allright, I will try to ceck it up. Can you tell me your number please?”
“Oh sorry, I forgot the number. Let me ask my sister, first.” Kututup telepon genggamnya dan bergegas menghampirir mbak Erna. Dan ternyata mba Erna juga tidak hafal nomornya. Jadi harus ngecek ke telepon yang sempat dihubungi tadi. Akhirnya nomor itupun didapat. Aku segera menghubungi layanan call center tadi dan memceritakan ulang kejadiannya serta memberikan nomor telepon yang kami miliki.
“Alright, I will call you when we get the information.” Ujar wanita disebrang sana. Sebetulnya percakapan kami tadi tidak semulus itu. Banyak pertanyaan yang tidak aku pahami dan tidak bisa aku ceritakan. Yang jelas masih teringat adalah suara disebrang telepon tadi suara wanita yang dalam bayanganku adalah seorang wanita dengan rambut blonde diterikat kebelakang dan mengenakan kacamata. Logat biacaranya atau dialeknya aneh ditelingaku. Mungkin British English logat Manchester.  Agak sulit juga aku memahami apa yang ia ucapkan. Percakapan tadi hanyalah sebagian dari apa yang bisa aku tangkap. Sisanya tidak jelas apa yang ia bicarakan, seperti suara orang yang sedang berkumur-kumur. Mungkin listening aku yang jelek. Sepertinya saat kuliah dulu aku dapat nilai C untuk Listening. Masih untung tidak D dan mengulang mata kuliah itu. Lupakanlah tentang kuliah Listening, itu sudah berlalu.

Akhirnya kami menunggu di bangku taman depan halte trem, berharap segera mendapatkan kabar baik dari si wanita blonde di seberang sana. Hari semakin sore, udara dingin semakin menggigit. Segera kukenankan jaket hitamku. Kutarik resleting jaketku hingga leher and bersedekap mencoba menghangatkan diri. Beberapa menit berlalu tanpa kata tanpa suara. Akhirnya mbak Erna memutuskan untuk mencari makanan di toko terdekat. Entah kemana perginya Mbak Erna aku tidak terlalu memperhatikan karena konsentrasiku tertuju pada telepon genggam menanti panggilan dari si Blonde.

Selang beberapa menit mba Erna datang membawa keripik kentang, sekotak strowberi, sekantung nectarine ( peach) dan sebotol  air mineral. Dalam sekejap langsung kami sikat habis semua makanan tadi. Sambil masih menunggu, kami menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang, semakin sore semakin banyak orang yang kami temui. Mungkin mereka hendak pulang ke rumah masing-masing setelah beraktifitas di tempat kerja atau sekolah masing- masing. Yang membuat aku heran adalah mereka berjalan santai tanpa terlihat kedinginan seperti kami. Padahal pakaian mereka terutamawanitanya sangat minim. Celana pendek dengan atasan oblong berlengan pendek, bahkan ada yang teng top pula. Memang saat itu akhir bulan Juni menjelang musim panas. Tapi bagi kami sore itu masih terasa sangat dingin.
Lama tidak ada kabar jua dari si Blonde, akhirnya kami memutuskan untuk melupakan kantong merah berbunga sakura dari jepang yang berisi kue Kartika sari dan Coca cola. Mungkin si Blonde berfikir kami adalah orang iseng yang mengerjainya karena komunikasi kami yang kurang jelas. Kami harus kembali ke Exchange Square untuk selanjutnya kembali naik Megabus menuju London. Dengan lunglai kami merelakan semua itu, segera menuju halte trem. Tidak lama kami menunggu, trem yang menuju Exchange Square yaitu jurusan Rochdale Town Centre tiba. Kami segera menaiki trem. Di halte pemberhentia pertama yaitu Exchange Square kami turun.
Hard Rock Cafe, Manchester
(Dok.Pribadi)
Hari sudah mulai malam, lampu-lampu kota sudah mulai menyala menambah keindahan kota. National Museum football nampak di depan kami. Jalanan yang kami sebrangi agak sedikit basah bekas  titik-titik gerimis air hujan. Lalu kami masuk ke gedung Printwork melewati took-toko dan restoran di dalamnya. Hard Rock café disebelah kanan yang pertama kami lewati, sudah mulai ramai oleh pengunjung. Setelah melewati beberapa toko dan resto atau café, kami keluar dari gedung Printwork, menyebrangi jalan Dantzic St. Beberapa meter kemudian belok kanan dan langsung menuju Shudehill Interchange Stand G.

Gerimis turun menemani malam kami di Manchester. Megabus yang akan membawa kami ke London akan tiba pada pukul 23.50, sekitar tiga jam lagi. Kami menunggu di dalam gedung Shudehill untuk sholat maghrib dan isya. Karena hari sudah malam toilet umum di dalam gedung sudah tutup, begitipun kios kopi disampingnya. Aku dan Daeng berkeliling dalam gedung mencari barangkali ada toilet dibagian lain. Nihil. Akhirnya kami tayamum dan sholat di ruang tunggu, beralaskan koran.
Lepas solat maghrib dan isya, ada beberapa orang masuk ke ruang tunggu, nampaknyai satu keluarga. Kami dapat mengenali dengsn jelas bahwa mereka orang Indonesia juga. Ternyata mereka satu keluarga yang ketinggalan kereta menuju Loverpool. Tidak ada kereta berikutnya malam ini. Mereka hendak mencari bus sebagai akternatif lain untuk menuju Liverpool. Sayang, counter Megabus di gedung itupun sudah tutup. Jadi mereka harus menunggu esok hari untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari hotel disekitar Shudehill. Sedangkan kami melanjutkan menunggu kedatangan Megabus.
Cuaca yang dingin menbuat rasa ingin pipis bertambah kuat. Aku merogoh saku jaketku, masih ada recehan poundsterling. Aku mengajak Daeng untuk membeli makanan di kios-kios diluar sambil numpang pipis. Pilihanku tertuju pada toko kebab Turki, yang aku rasa lebih aman kehalalannya. Dari gedung interchange kami menyebrang diiringi rintik gerimis. Kami membeli 2 pak Chips Curry seharga £5. Namun sayang mereka tidak menyediakan toilet, sehingga kami kembali ke gedung Shudehill dengan 2 pak Chips Curry. Sebungkus untuk aku dan Daeng, sebungkus lagi untuk Novi dan Mbak Erna. Dan tentang pipis itu, terpaksa harus kami tunda.
Tiba waktunya Bus datang, kami segera naik dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Setelah bus melesat meninggalkan Shudehill, aku segera ke toilet yang ada di lantai bawah untuk menumpahkan semua yang sudah ditahan sejak sore tadi. Tidak lupa berbekal tissue basah karena air dalam toilet terbatas. Akhirnya, Plong. Setelah aku naik kembali menuju jok tempat dudukku, giliran Daeng  yang turun untuk melepaskan semuanya. Begitupun Mba Erna dan Novi semua melakukan hal yang sama. Selanjutnya kami terlelap di tempat duduk masing-masing dengan kenangan seru selama di Manchester.

Sampai jumap lagi di London esok hari ...!

Nb: saran untuk kalian yang akan mengunjungi Manchester dan hendak  menggunakan trem Metrolink, sebaiknya jangan turun di stasiun pemberhentian Trafford Bar seperti kami, tapi satu halte berikutnya yaitu Old Trafford Station. Dari stasiun itu kita tinggal lurus saja melewati stadion kriket hingga tiba di tempat tujuan tanpa harus berbelok belok.